Jumat, 20 April 2012

MENEGUHKAN KEMBALI SPIRIT KARTINI DI ZAMAN EDAN

Lebih dari satu abad yang lalu Ibu Kartini telah memperjuangkan hak – hak bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki – laki dalam menuntut ilmu, mengeluarkan pendapat dan hak – hak lainnya. Perjuangan itu sungguh sangat mempengaruhi perjalanan bangsa ini selanjutnya dan bahkan Ibu Kartini diberikan penghargaan oleh Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional. Betapa mulia perjuangan Ibu Kartini tersebut yang sudah barang tentu juga sangat  berpengaruh terhadap perjuangan dari putera – puteri bangsa ini yang ditandai dengan  diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno – Hatta pada 17 Agsutus 1945. Spirit yang telah diperjuangkan oleh beliau, kini mendapat tekanan – tekanan dari sebuah arus besar yang bernama globalisasi khususnya dalam hal nilai – nilai budaya Indonesia. Sehingga pertanyaan yang paling mendasar kepada generasi muda bangsa ini adalah “Apakah spirit dari perjuangan Kartini masih mendapatkan tempat di dalam sanubari generasi muda  khususnya kaum perempuan?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sungguh – sungguh gampang – gampang sulit untuk dijawab. Karena pada konteks kekinian, tantangan yang dihadapi jelas sangat berbeda baik pada karakteristiknya maupun dari kompleksitasnya. Dewasa ini tantangan yang dihadapi bukan lagi penindasan oleh bangsa asing akan tetapi mungkin penindasan itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bentuknyapun berlainan. Misalnya penindasan itu terjadi dalam bentuk keterbatasan akses dan kesempatan untuk berperan dalam masyarakat.  Baik secara social maupun secara ekonomi dan politik.  Ataukah mungkin malah terjadi dalam ligkungan keluarga kecil dimana kaum perempuan menjadi sub – ordinat dalam rumah tangga.

Faktanya dapat dilihat pada segala aspek kehidupan sebagai contoh secara kuantitatip, berapa banyak kaum perempuan yang menjadi pemimpin bangsa semisal menteri, gubernur, bupati, anggota legislative dan lain – lain dibandingkan kaum laki – laki, padahal jumlah penduduk di Indonesia menurut data statistik ternyata 51% adalah perempuan. Selanjutnya berapa banyak anak perempuan di rumah tangga yang akhirnya menjadi korban dengan tidak mendapatkan prioritas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keluarga untuk menyekolahkan anak. Dan masih banyak lagi fakta – fakta yang bisa dilihat dalam keseharian kita masing – masing.  Sehingga jangan heran kalau akhirnya kemudian pada saat yang bersamaan kita juga banyak menemukan ‘perempuan – perempuan’ yang akhirnya menjadi ‘residu’ dari sebuah proses kehidupan dengan terjerumus ke hal – hal yang jauh dari norma – norma dan harapan – harapan yang diimpikan oleh Kartini misalnya dengan menjadi wanita – wanita penghibur dan penjaja seks di kota – kota besar yang diakibatkan oleh karena tidak adanya option lain yang bisa dipertimbangkan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bekal ilmu dan keterampilan untuk menghadapi kerasnya gelombang kehidupan. Namun dibalik dari itu semua, bukan berarti bahwa kita akan terus menerus menyalahkan situasi yang telah terjadi dewasa ini. Malahan ini semua akan menjadi cambuk dan motivasi bagi kalangan generasi muda khususnya kaum perempuan untuk membuktikan kepada sejarah bahwa spirit Kartini belum padam walaupun mungkin oleh segelintir masyarakat dalam memaknai spirit Kartini itu begitu dangkal yakni dengan hanya menonjolkan hal – hal dari aspek fisik seperti kebaya, ukiran dan lain – lain. Padahal, ada banyak hal yang perlu dimaknai lebih dalam lagi ketika kita membincangkan Kartini antara lain bagaimana beliau sebenarnya adalah korban dari tidak terperhatikannya masalah – masalah kesehatan ibu dan anak terutama kesehatan ibu hamil, bagaimana beliau telah berjuang tentang hak asasi manusia jauh sebelum PBB mendeklarasikan Konvensi HAM, bagaimana beliau telah berbicara tentang hak – hak anak khususnya hak pendidikan bagi anak perempuan jauh sebelum PBB mendeklarasikan Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, atau bagaimana beliau telah melakukan komunikasi dengan dunia luar dalam rangka mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia global walaupun hanya dengan surat menyurat. Oleh karena itu, apa yang telah diwariskan beliau, tidak akan lapuk dimakan oleh zaman bahkan akan terus menerus diapresiasi dan diteguhkan kembali oleh setiap generasi bangsa ini dari masa ke masa.. Bahkan itu semua akan menjadi tantangan dan musuh bersama bagi semua kalangan yang peduli terhadap anak – anak dan generasi bangsa untuk meneguhkan kembali spirit Kartini di zaman yang serba edan ini seperti yang beliau tulis dalam suratnya ke Stella pada 3 Agustus 1900 berbunyi “………Marilah ibu – ibu dan gadis – gadis, bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerja sama untuk merobah keadaan yang sudah tak tertahankan lagi…………”. Disini Kartini secara tegas melakukan pemberontakan dengan caranya sendiri terhadap zaman yang telah membelenggu kaumnya. Akhirnya, saya mengajak kepada seluruh pihak yang membaca buku ini untuk mulai menanamkan suatu tekad dalam diri kita masing – masing bahwa Kartini saja seorang diri telah mampu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perjalanan bangsa di kemudian hari. Apalagi kita generasi sekarang, semuanya sudah tersedia, tinggal melakukan saja aksi – aksi konkrit untuk meneguhkan kembali spirit itu. Tidak perlu merintis lagi, tinggal menjalankannya saja. Apakah dengan kondisi yang seperti inipun kita tidak mampu berbuat yang terbaik untuk bangsa kita? Jawabnya ada di benak kita masing – masing.





Rembang, 21 April 2005
Salam hormat



Daeng Gajang

Kamis, 08 Maret 2012

Cerita dari Washington DC dan Denver – Colorado USA

Pengantar
Sekitar October 2009, Plan USA mengundang Plan Indonesia untuk dapat mengirimkan artikel tentang proyek – proyek dalam bidang Kesehatan, Sanitasi Air bersih yang dianggap sukses memberikan kontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh saudara Muhammad Afrianto Kurniawan (WES fasilitator PU Dompu) untuk menuliskan artikel dari PU Dompu yang berjudul hygiene promotion in schools with using the local game. Setelah melalui serangkaian seleksi oleh American Public Health Association (APHA) di Amerika Serikat, maka pada bulan Juni 2010, artikel ini dinyatakan lolos untuk dipresentasikan pada pertemuan tahunan APHA 2010 yang dilaksanakan di Denver – Colorado. Karena saudara Afrianto telah resign dari Plan Indonesia pada akhir 2009, maka saya dipercayakan menggantikan dia sebagai presenter pada pertemuan tahunan tersebut.

Persiapan di Indonesia
Setelah menerima kepastian dari Plan USA bahwa artikel dari Plan Indonesia berhasil lolos, maka persiapanpun segera dilakukan. Beberapa hal yang perlu diselesaikan antara lain memfinalisasi presentasi dalam power point dan mengurus visa USA di kedutaan USA di Jakarta. Diskusi penyelesaian presentasi power point berlangsung dari Juli sampai dengan October 2010. Diskusi finalisasi presentasi power point ini dibantu oleh Jillian Scott dari Plan USA dan Ibu Wahdidi Hakim (CO), Yohan Prasetyo (HC NT Area) dan tentu saja teman – teman di PU Dompu yaitu Eka Hadiyanto (PUM) dan Muh Thamrin (SCTA). Dan tidak lupa juga tetap melibatkan saudara Afrianto sebagai pengirim dari artikel ini. Pada rentang waktu yang bersamaan, pengurusan visa di kedutaan USA di Jakarta juga telah dimulai. Pengurusan visa ini juga memakan waktu yang cukup lama karena saya harus menunggu sekitar 2 bulan untuk mendapatkan giliran wawancara di kedutaan. Proses pengurusan visa ini banyak mendapatkan masukan dari Pak Nono, Pak Se Tjie dan tentu saja Pak Tata. Dan akhirnya pada 20 October 2010 saya berhasil mendapatkan visa tersebut untuk jangka waktu 5 tahun.

Perjalanan ke USA
Pada 31 October 2010 pukul 1.30 am, saya berangkat ke USA dari Bandara Sukarno _ Hatta melalui Doha (Qatar) dan tiba di Dulles International Airport -Washington DC pada 31 October 2010 sekitar pukul 9.00 pm. Waktu di Jakarta lebih cepat 24 dari pada waktu di Washington DC. Peserta dari negara lain seperti Cameron, Kenya, Togo, Bangladesh, Pakistan, Cambodia, Vietnam, Elsalvador dan Honduras sudah lebih dulu tiba di DC. Semua peserta menginap di Hotel Beacon yang terletak di Rhode Island Avenue. Hotel ini hanya berjarak satu block dari kantor Plan International USA.

Persiapan di Plan International USA
Sebelum mengikuti APHA meeting di Denver – Colorado, semua peserta melakukan persiapan di Plan USA untuk penyempurnaan materi dan cara membawakan presentasi. Serta melakukan diskusi dengan beberapa department di Plan USA seperti Foundation and Coorporation Relation yang dibawakan oleh Rebecca Lake dan Humanitarian Assistance Unit yang dibawakan oleh Frank Manfredi. Beberapa peserta juga melakukan pertemuan dengan lembaga – lembaga donor yang sedang dan akan bekerja di negara – negara yang bersangkutan antara lain ABT Associates dan Development Alternatives Inc. Peserta bergantian melakukan praktek presentasi dan selanjutnya dikritisi untuk penyempurnaan baik dari segi content presentation maupun dari cara membawakan prsentasi. Dengan latihan seperti ini, kami betul – betul sangat siap untuk membawakan presentasi di APHA meeting. Akhirnya pada 7 Nopember 2010 di pagi hari, kami berangkat ke Colorado dengan pesawat South West Airways dari Bandara Baltimore, Maryland. Setelah menempuh penerbangan sekitar 4 jam karena transit sekitar 25 menit di Cichago, maka kami tiba di Denver – Colorado sekitar jam 2 sore dan kami menginap di Hotel Comport Inn.

APHA meeting di Denver - Colorado
Hari Minggu sekitar jam 3.30 pm kami menuju ke Colorado Convention Center untuk melakukan pendaftaran ulang dan sekaligus mengambil bahan – bahan kelengkapan konferensi seperti ID card, buku panduan, dll serta kami juga melakukan penataan stand pameran un tuk Plan USA. Bahan – bahan yang akan dipamerkan terdiri dari program global Plan International yaitu BIAG dan beberapa KIE dari 10 negara peserta. Plan Indonesia sendiri memamerkan KIE antara lain film dokumenter FNS, SIP – Isuzu, DRR, dua edisi terakhir majalah Media Kita dan beberapa sticker.

Hari Senin 7 November 2010 APHA meeting resmi dimulai dengan 2 kergiatan besar yaitu pameran tentang kesehatan masyarakat dan presentasi hasil – hasil kegiatan yang berkenan dengan  kesehatan masyarakat. Pameran diikuti oleh ratusan stand dari berbagai kalangan seperti perguruan tinggi, lembaga – lembaga kesehatan pemerintah USA termasuk NASA dan US ARMY, perusahaan dan konsultan kesehatan, lembaga – lembaga donor dan tentu saja Plan International USA.

Saya sendiri mendapat giliran menjadi pemandu pameran di stand Plan USA pada Selasa siang dan Rabu sore. Sedangkan sesi presentasi mulai dilakukan pada Senin sampai Rabu dengan jadwal sebagai berikut :

Senin, 8 Nopember yaitu Dax Martines dari Plan Honduras (poster) pada 10.30 – 11.30 am dengan judul Using clean, low-consumption stoves to improve the health of children and families, Margarita Alvarado dari Plan El Salvador (poster) pada 2.30 – 3.30 pm dengan judul Improving reproductive health and HIV prevention through adolescent youth groups, Selina Amin dari Plan Bangladesh (poster) pada 2.30 – 3.30 pm dengan judul Succesful education of rural parents on how to communicate with adolescent on sexual and reproductive health, Ryan Lander dari Plan USA (untuk Charles Luwanga from Plan Uganda) pada 2.30 – 3.30 pm dengan judul A holistic approach to the prevention of mother – to – child transmission HIV, Njoroge Kamau dari Plan Kenya (oral) pada 2.30 – 4.00 pm dengan judul Innovative community organizations improve the survival of rural children, Pabanam N’Zonou dari Plan Togo (oral) pada 2.30 – 4.00 pm dengan judul Reinforcing community capacity to protect the lives of children and their mother in east – Mono, Irfan Ahmed dari Plan Pakistan (poster) pada 4.30 – 5.30 pm dengan judul Succesfull screening and management of visual refractive errors in rural school, Ho ha dari Plan Vietnam (oral) pada 4.30 – 6.00 pm dengan judul Improving water and sanitation in rural communities through capacity building and community choices.

Selasa, 9 Nopember yaitu Syvibola Oun dari Plan Cambodia (oral) pada 12.30 – 2.00 pm dengan judul Succesful and cost-effective rural school water and sanitation program. Rabu, 10 Nopember yaitu Syamsu Salewangan dari Plan Indonesia (oral) pada 8.30 – 10.00 am dengan judul Hygiene promotion through local games : A friendly and fun tool for children, Ephraim Toh dari Plan Cameron (oral) pada 8.30 – 10.00 am dengan judul Succesful youth participation in community – based malaria control, Jillian Scott dari Plan USA (oral untuk Moussa Sarr dari Plan Senegal) pada 10.30 – 12.00 pm dengan judul Successful task shifting for the implementation of community IMCI – the community health educator, Selina Amin dari Plan Bangladesh (poster) pada 8.30 – 9.30 am dengan judul Community-managed clinics : empowering thye community to improve their access to primary care services. Jum’at, 11 Nopember pada pukul 9.00 am rombongan dari Plan International kembali ke Washington dan selanjutnya melanjutkan perjalanan pulang ke negara masing – masing.

Rehat di Washington DC dan Denver
Diselah – selah acara resmi yang diorganisir oleh Kantor Plan USA di Washington DC, saya juga menyempatkan diri untuk berjalan – jalan menyusuri down town atau pusat kota Washington DC, walaupun cuaca tidak bersahabat bagi pengunjung dari Negara tropis seperti Indonesia. Saat itu suhu di Washington DC berkisar antara 1 – 8 C, sungguh dingin bagi saya. Karena itu, kemana – mana saya lebih memilih berjalan kaki, supaya kalori dalam tubuh saya terbakar dan menjadikan saya bisa survive melawan dinginnya udara Washington DC.

Tempat pavorit yang dikunungi di Washington DC adalah Gedung Putih, tempat dimana Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mengendalikan pemerintahannya. Tempat – tempat lain yang saya kunjungi adalah Monumen Goerge Washington, Lincoln Memorial, Museum Perang Dunia II dan tentu saja ke sebuah pusat perbelanjaan (fashion) yang saya lupa namanya. Tempatnya terbilang sederhana, namun penataannya bak kota koboi, jadi semakin menambah keindahan untuk dikunjuni oleh para turis.

Yang menarik di Washington DC adalah pusat pemerintahan USA seperti Gedung Putih dan Capitol (Gedung Parlemen) juga merupakan tujuan wisata utama, padahal kita ketahui soal keamanan, pemerintah USA sangat ketat, namun justreu di kedua pusat pemerintahan tersebut para pengunjung diperbolehkan merapat sampai di pagar gedung tersebut dan bebas berfoto – foto. Bandingkan dengan Istana Negara di Jakarta, yang terkesan angker bagi rakyatnya.   

Nah, masa rehat di Denver lain lagi, bersama dengan teman dari Pakistan (Irfan Ahmed), Bangladesh (Selina Amin) dan Kenya (Joroge) patungan rental mobil untuk berkunjung ke lokasi wisata yang sangat terkenal di Colorado yaitu The Red Rock dan Taman Dinosaurus. Dari pusat kota Denver, dapat ditempuh sekitar 2 jam dengan mobil. Di kawasan Red Rock ditemukan pemandangan yang sungguh menakjubkan, dimana kawasan ini yang luasnya ribuan hektar terdiri dari perbukitan batu yang didonimasi oleh warna merah, coklat dan membentuk gugusan yang begitu indahnya. Red Rock ini adalah salah satu keajaiban alam di dunia. Lokasi kedua yang kami kunjungi adalah Taman Dinosaurus. Menurut penjelasan yang tertera, di lokasi inilah ditenukan fosil dinosaurus sehingga dibangunlah sebagai tempat belajar dan meneliti tentang dinosaurus tersebut. Begitulah sekelumit perjalanan ke tempat – tempat yang menarik dikunjungi di Washington DC dan di Denver, walaupun saya lakukan dengan diselimuti oleh suhu yang sangat dingin. Bahkan di Denver, sempat turun hujan salju, dan saat itu pulalah pertama kalinya saya melihat dan merasakan yang namanya hujan salju…….fantastik…..   

Lesson learned
  1. Meningkat pengetahuan tentang bagaimana membuat presentasi yang singkat, padat, jelas dan penuh pesan.
  2. Persiapan dan perencanaan yang matang berdampak kepada kesiapan para presenter membawakan makalahnya masing – masing.
  3. Mengetahu trend dari program intervention dalam dalam bidang kesehatan dan Water And Sanitation Hygiene (WASH) yang dilakukan di berbagai negara dalam rangka pemenuhan hak – hak anak dan kaum perempuan.
  4. Membawa Plan International secara global berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan dan WASH sebagai bagian dari upaya pencapaian MDGs.
  5. Memperluas wacana dan pemahaman bagi peserta APHA tentang pendekatan program yang praktis, simpel dan murah yang berdampak signifikan terhadap kehidupan anak – anak dan perempuan di negara – negara berkembang. 
  6. Mendorong Plan Indonesia untuk dapat ikut serta dalam APHA meeting setiap tahunnya.




Ditulis di Kupang – NTT, 1 Desember 2010


Daeng Gajang

Rabu, 07 Maret 2012

Meletakkan rakyat sebagai ‘subyek’ pembebasan diri dari belenggu kemiskinan


Pendahuluan
Diskursus tentang kemiskinan di Indonesia sepertinya tidak akan pernah habis mengiringi perjalanan bangsa ini dari masa ke masa. Betapa tidak yang namanya pengentasan kemiskinan, telah dilakukan sejak pertama kali bangsa ini memulai pembangunan kira – kira 40 tahun lalu. Bahkan andaikata dana – dana yang digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan itu langsung dibagikan kepada seluruh rakyat miskin yang jumlahnya berkisar 30 sampai 40 juta, mungkin cerita tentang kemiskinan di negeri ini telah selesai. Bayangkan berapa besar dana yang dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan setiap tahunnya baik yang berasal dari APBN, APBD I maupun APBD II? Namun seberapa jauh pendanaan itu mempengaruhi penurunan angka kemiskinan?

Kondisi tersebut di atas akan selalu berulang setiap tahun jika kita tidak segera menemukan sebuah strategi yang tepat dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang telah lama membelenggu bangsa ini. Penyebab kemsikinan itu terus menerus membelenggu kehidupan bangsa ini salah satunya adalah karena rakyat selalu diposisikan sebagai obyek dan telah dikonotasikan sebagai pihak yang tidak berdaya dan tidak mempunyai kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan itu.

Selama ini para penentu kebijakan (negara) tidak percaya bahwa rakyat sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya  termasuk masalah kemiskinan dengan mengoptimalkan kearifan – kearifan yang mereka miliki. Namun sangat disayangkan, kearifan – kearifan yang dimiliki oleh rakyat di penjuru tanah air ini, kebanyakan telah terkubur setelah mengalami proses pengkerdilan nilai selama 30 tahun terakhir.

Bagaimana si miskin di daerah Takalar dan sekitarnya tidak dapat lagi menikmati panen dengan mekanisme “a’pare – pare” karena digilas oleh pertanian modern. Di Selayar, karena semangat otonomi yang begitu tinggi, desa – desa menciptakan peraturan desa yang tidak membenarkan lagi si miskin dapat memungut buah kelapa yang jatuh dimana sebelumnya adalah merupakan mekanisme yang tidak tertulis (turun temurun) yang telah dimaklumi /disepakati sejak dahulu kala yang memungkinkan si msikin juga dapat akses terhadap sumber daya (kususnya kelapa). Dan masih banyak lagi hal yang sama terjadi di daerah – daerah lain di pelosok negeri ini.

Sejarah telah membuktikan betapa bangsa ini mampu mensejajarkan dirinya dengan bangsa -  bangsa lain yang telah maju di dunia pada sekitar 300 atau bahkan 500 tahun lalu seperti masa – masa kejayaan kerajaan nusantara antara lain Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Malaka dan lain - lain. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mengelola kehidupannya atas kearifan yang mereka miliki dalam artian bahwa merekalah yang menjadi penentu hitam putihnya kehidupan mereka atau merekalah yang menjadi subyek bagi kehidupannya. Tidak diaturkan dan ditunjukkan - tunjukkan atau bahkan diperintah - perintah oleh pihak lain yang bernama pemerintah (aparat negara?). Tapi toh rakyat bisa sejahtera dan berdaulat penuh atas sumber – sumber penghidupannya. Bahkan mampu mewariskan kesejahteraan itu kepada generasi selanjutnya.

Salah satu praktek yang dilakukan oleh para raja (Negara) pada saat itu adalah bersama dengan rakyatnya duduk bersama memikirkan (musyawarah) apa yang terbaik buat keduanya melalui sebuah mekanisme yang telah disepakati yang bertujuan untuk kesejahetraan bersama. Penciptaan mekanisme itu sudah barang tentu mengakomodasikan kepentingan semua pihak (negara dan rakyat). Mekanisme – mekanisme itu kemudian dapat ditelusuri dalam tatanan kehidupan masyarakat yang antara lain di Sulawesi Selatan dikenal Tudang Sipulung (Bugis), Sipitangarri (Makassar), di Nusa Tenggara Barat  dikenal Mbolo Weki (Mbojo), di Jawa dikenal Selapanan, Rembuq Deso, dan lain – lain.

Namun demikian, disadari pula bahwa praktek – praktek yang diberlakukan pada masa itu, juga tidaklah sempurna. Tentunya tidak terlepas pula dari kekurangan – kekurangan namun paling tidak negara dan perilaku aparat negara telah memberikan ruang yang cukup bagi rakyatnya untuk berperan serta secara optimal dalam mengakses sumber – sumber penghidupan secara bijak dan proporsional.    


Kemiskinan dan karakteristiknya
Dalam beberapa refensi ditemukan sebuah definisi tentang kemiskinan yaitu terjadinya ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Karakteristik kemiskinan yang terjadi di setiap daerah sangat berpariasi karena penyebabnya juga sangat beragam. Dr. Sanyoto Usman dalam bukunya Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat pada halaman 127 – 128 menuliskan bahwa  ‘Untuk mengidentifikasi karakteristik kemiskinan itu terdapat dua macam perspektif yang umum digunakan yaitu perspektif cultural (cultural perspective) dan perspektif structural atau situasional (situational perspective).

Perspective cultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga dan masyarakat. Kemiskinan pada tingkat individual ditandai dengan sifat yang lazim seperti sikap parochial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi – institusi masyarakat secara efektip. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang’.

Dari perspektif yang dijelaskan di atas itulah, kita mencoba membedah lebih jauh kira – kira mana yang paling dominan berperan dalam kebanyakan rakyat miskin di Indonesia. Belajar dari pengalaman panjang penguasa bangsa ini melakukan upaya – upaya pengentasan kemiskinan, sangatlah beralasan apabila disimpulkan bahwa tidak adanya integrasi kaum miskin dengan institusi – institusi yang ada di masyarakatlah yang menjadi penyumbang paling besar terhadap kegagalan bangsa ini dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Penyebab dari situasi yang seperti ini telah banyak dikupas sebelumnya. Oleh karena itu, ada baiknya dicoba suatu program pengentasan kemiskinan yang menempatkan rakyat sebagai subyek atau pelaku utama.

Prasyarat menempatkan rakyat sebagai subyek
Jika hipotesa di atas akan dicoba diluncurkan, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi antara lain : prinsip dari, oleh, untuk harus dikedepankan secara sungguh – sungguh oleh para pihak yang terlibat dalam program pengentasan kemiskinan tersebut, pendamping harus melakukan proses immerse untuk mengetahui secara pasti irama dan gaya hidup dari komunitas yang akan difasilitasi oleh program, pendekatan yang digunakn adalah pendekatan program development bukan project orientation. Untuk mendukung upaya – upaya tersebut di atas, maka prinsip yang seyogyanya yang dijadikan sebagai pakem dalam program pengentasan kemiskinan adalah sebagai berikut :  

a.    Sejak awal terlibat dalam program
b.    Tujuan merekalah yang akan dicapai bukan tujuan proyek
c.    Menggali kearifan – kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat setempat dan menempatkan kearifan local tersebut sebagai entry point.
d.    Mencapai kehidupan yang layak adalah hak bagi seluruh rakyat.
e.    Model – model pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan, mempertimbangkan suara dari masyarakat setempat.

Masyarakatlah yang paling tahu akan situasinya
Saya sangat yakin dengan sebuah ayat dalam Alqur’an yang artinya Tidak berobah nasib suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang merobahnya. Maknanya bahwa selama rakyat miskin tersebut tidak menjadi aktor utama atau subyek dalam proses pengentasan kemiskinannya, maka sampai kapanpun tidak akan membawa hasil yang optimal terhadap upaya – upaya pengentasan kemiskinan. Jadi yang diperlukan sekarang adalah bagaimana menemukan cara – cara yang praktis dan mudah dilakukan oleh rakyat miskin tersebut yang nota bene disamping miskin secara ekonomi umumnya mereka juga rendah pendidikan dan pengetahuan dan bahkan social budaya sehingga mereka dapat berperan aktip di dalam program – program yang akan membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan.

 Adalah Revrisond Bawasier dalam bukunya Pembangunan Tanpa Perasaan yang telah mengelompokkan kemiskinan itu ke dalam tiga kategori antara lain (a). kemiskinan natural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh tidak adanya sumber daya alam yang dapat diakses oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kalupun ada sumber daya alam yang bias diakses, yang tidak tersedia adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam untuk menjadi sumber kesejahteraannya. (b). kemiskinan cultural yaitu kemiskinan yang disebabkan adanya praktek – praktek budaya atau kebiasaan – kebiasaan masyarakat setempat yang sebenarnya malah mengakibatkan mereka malah menjadi miskin misalnya pesta – pesta yang hanya memboroskan sumber daya, hajatan atas dalih demi mengakkan adat istiadat yang kalau perlu mereka menjual barang – barang berharga yang dimiliki demi membiayai hajatan tersebut yang ujung – ujungnya malah membuat mereka jadi bangkrut. Dan (c). kemiskinan structural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya praktek – praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dalam menjalankan program – program pemerintah yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan. Banyak sekali proyek – proyek yang salah sasaran yang justru jatuh kepada yang tidak berhak sama sekali. Dari pemaparan tersebut di atas, dapatlah ditarik benang merah bahwa ketika program – program yang bertujuan mengentaskan kemiskinan itu akan diimplementasikan dalam suatu masyarakat/komunitas, maka mereka seharusnya terlibat sejak awal ketika program – program  tersebut masih dalam tahapan perencanaan. Karena merekalah yang paling tahu sesungguhnya apa yang terjadi di masyarakatnya. Kemiskinan kategori apa yang membelenggu mereka dan bagaimana cara keluar dari belenggu tersebut..

Semua pihak yang berasal dari luar komunitas adalah bersifat stimulan, apakah berperan sebagai konsultan, fasilitator, sparing partner untuk berdiskusi atau mitra dari mereka. Sedangkan yang berperan sebagai decision maker adalah anggota dari komunitas itu sendiri melalui mekanisme yang disepakati misalnya melalui kelompok – kelompok atau melalui system perwakilan. Dengan demikian focus kita bukan hanya bagaimana meningkatkan income dari sekian rupiah menjadi sekian rupiah, akan tetapi juga bagaimana mengembangkan sumber daya manusia di tingkat komunitas yang akan menjadi pemimpin – pemimpin solider diantara mereka. Sehingga yang terjadi kemudian adalah sebuah gerakan simultan atau kalau boleh disebut sebagai sebuah revolusi yang dilakukan sendiri oleh komunitas tersebut.  Ini penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang radikal dalam hal gerakan pembebasan komunitas dari belenggu kemiskinan. Kalau ini dilakukan secara terencana dan terarah, maka dapat dipastikan bahwa komunitas tersebut akan menjelma menjadi sebuah masyarakat yang mempunyai pondasi yang kuat untuk mempertahankan kesejahteraan yang telah dicapainya dalam artian telah terjadi gerakan berkesinambungan bahkan antar generasi.

Memulai dari kearifannya sendiri
Sebagaimana yang telah dilansir sebelumnya bahwa yang paling tahu situasi dan masalah yang membelenggu suatu masyarakat tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu jika memang kita mempunyai kesungguhan untuk mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia yang kita cintai ini adalah dengan memahami lebih dalam akan situasi social budaya dan kearifan – kearifan yang dianut oleh masyarakat tersebut.. Namun demikian timbul pertanyaan – pertanyaan yang sekaligus menjadi prasyarat utama jika ingin meletakkan masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama dalam proses pengentasan kemiskinannya yaitu antara lain apakah pihak pemerintah (negara) mau secara ikhlas melepaskan status ‘kepenguasaanya’ terhadap rakyat? Apakah para penentu kebijakan baik di pusat maupun di daerah bersedia menjauhkan program pengentasan kemiskinan dari aroma politis? Apakah pelaksana program mempunyai sumber daya manusia yang cukup handal dalam memfasilitasi proses – proses yang menjadikan masyarakat menjadi subyek? Pertnyaan – pertanyaan tersebut akan terjawab dalam skema program pengentasan kemiskinan yang diluncurkan oleh pemrintah.

Tahapan – tahapan program
Untuk melakukan upaya – upaya pengentasan kemiskinan dengan menempatkan rakyat sebagai subyek, terdapat beberapa tahapan proses yang perlu diketahui  oleh seluruh pihak yang akan terlibat dalam program antara lain :

a.    Persiapan
Proses ini adalah proses awal dimulainya program dimana fasilitator melakukan penjajakan awal dengan melakukan transeck serta assessment untuk mengetahui data awal situasi kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah. Setelah data – data yang dibutuhkan telah didapatkan, fasilitator akan melakukan in-dept studi untuk mengetahui layak tidaknya suatu wilayah dijadikan sebagai lokasi program. Data – data yang dibutuhkan pada tahapan ini diantaranya  jumlah penduduk yang termasuk kategori mampu, sedang dan miskin, siapa – siapa tokoh masyarakat yang selama ini secara ikhlas membantu masyarakat dalam kesulitan – kesulitannya,  potensi sumber daya yang terdapat di masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya sosial, sumber daya finansial, sumber daya ekonomi, sumber daya buatan dan lain – lain.

Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu wilayah termasuk kategori miskin atau tidak, diantaranya dari Bappenas, BKKBN dan lain – lain. Hasil – hasil studi awal yang dilakukan akan lebih baik jika dilakukan validasi ke masyarakat melalui proses – proses partisipatif seperti focus group discussion atau bahkan dengan lokakarya dengan masyarakat yang tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan dari pihak mereka, sekaligus melakukan validasi terhadap hasil yang ditemukan oleh tim fasilitator. Masukan – masukan yang didapatkan dalam lokakarya tersebut akan melengkapi data – data awal yang dimiliki oleh fasilitator.

b.    Penjajakan kebutuhan dan perencanaan
Penjajakan kebutuhan dilakukan untuk mengetahui dengan tepat kebutuhan – kebutuhan pengembangan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang sudah barang tentu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Apalagi kalau karaktersitik masyarakatnya sangat plural, dimana terdiri dari beragam latar belakang misalnya petani, buruh, pekerja disektor informal, nelayan dan lain – lain.

Proses penjajakan kebutuhan dan perencanaan ini dilakukan secara partisipatif dimana setiap keluarga diharapkan aktip merencanakan sendiri langkah – langkah yang akan mereka lakukan jika ingin terbebas dari belenggu kemiskinan. Dengan demikian terdapat banyak pariasi dari perencanaan yang dihasilkan karena basisnya adalah perencanaan keluarga (family planning). Hasil – hasil dari perencanaan inilah yang akan dinegosiasikan dengan pihak lain misalnya pemerintah, lembaga keuangan, lembaga pelatihan dan seterusnya yang tentunya mereka juga akan memutuskan bentuk konstribusi yang akan diberikan dalam program.

Namun dalam menentukan jenis kontribusi dari mereka, fasilitator melakukannya dengan negosiasi dengan mereka sehingga terbangun proses pencerahan bahwa yang menentukan sukses tidaknya dia dalam melawan kemiskinan, adalah ditentukan oleh kemampuan dia sendiri, pihak lain hanyalah sebagai stimulan. Ini penting untuk meyakinkan mereka bahwa sesungguhnya mereka punya potensi yang sangat besar untuk maju namun hanya karena belum mendapatkan kesempatan. Salah satu bukti bahwa mereka mempunyai potensi besar adalah bahwa kereka tetap survive sampai dengan hari ini walaupun mungkin telah bertahun – tahun bahkan telah berpuluh – puluh tahun hidup dalam situasi miskin.

c.    Implementasi
Pada saat implementasi program, pembagian peran harus disepakati sebelumnya agar tidak terjadi tumpang tindih antara fasilitator dengan pelaku utama program. Masing – masing pihak harus jelas perannya di awal dan secara konsisten akan melakukan apa yag telah menjadi tanggungjawabnya. Pada tahapan implementasi tersebut, juga dilakukan monitoring, untuk mengetahu sejauh mana kemajuan yang telah dicapai pada setiap tahapan proses yang telah dilalui. Dan juga sekaligus memberikan rekomendasi yang sekiranya dapat dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas dari tahapan – tahapan proses sebelumnya.    

d.    Evaluasi
Jika ingin mendapatkan data dan informasi yang valid di dalam mengevaluasi sebuah program pengentasan kemiskinan, maka berilah kesempatan kepada para stakeholders, termasuk masyarakat sebagai subyek, terlibat penuh di dalam prose evaluasi. Merekalah yang akan menjelaskan dengan fakta yang terjadi di masyarakat terhadap apa yang mereka rasakan, apakah ada perobahan yang signifikan tentang kesejahteraannya baik sebelumdan sesudah program pengentasan kemiskinan dilakukan di wilayahnya masing – masing. Biarkanlah mereka bertestimoni dan menjelaskan apa adanya dan secara obyektip. Para fasilitator dan kalangan tinggal membandingkannya secara ilmiah dan tanpa mengabaikan kaidah – kaidah keilmuan dalam menuliskan sebuah laporan evaluasi. 

Menentukan indicator
Menentukan indicator bersama dengan mereka dilakukan agar mereka sejak awal memahami kondisi awal serta kondisi yang akan diusahakan tercapai. Penentuan indicator ini terbagi atas dua kelompok yaitu indicator kemisikinan menurut masyarakat setempat dan indicator keberhasilan program yang juga diformulasikan dengan cara pandang mereka tentang keberhasilan itu sendiri.

Pengalaman yang terjadi selama ini, indikator – indikator yang digunakan adalah indikator yang bersifat makro sehingga mereka tidak merasa menjadi bagian yang dimaksudkan oleh indikator tersebut. Pekerjaan ini memang menjadi sesuatu yang sangat berat karena akan muncul indikator – indikator yang sangat beragam dari masyarakat sebab setiap masyarakat tentu akan mempunyai cara pandang yang berbeda tentang indikator kemisikinan itu. Akan tetapi hal ini harus dilakukan untuk mengetahui lebih tepat kemana sebenarnya masyarakat ini akan mengembangkan dirinya di masa depan.

Indikator di Jawa tidak mungkin bisa digunakan di tempat lain misalny di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan lain – lain. Salah satu contohnya mungkin di pedesaan Jawa, rumah dengan lantai tanah boleh jadi tidak akan dipersoalkan sebagai salah satu criteria keluarga miskin, karena memang mayoritas masyarakat menggunakan tanah sebagai lantai rumahnya. Akan tetapi jika itu di Sulawesi Selatan misalnya, ini akan menjadi masalah karena di Sulawesi Selatan, umumnya masyarakat di pedesaan menggunakan rumah panggung yang mana lantainya terbuat dari papan atau bamboo. Begitu juga untuk daerah lainnya di Indonesia.

Penyebab dari kemisikinan itu sangat berpariasi, ada yang disebabkan oleh karena kondisi sumber daya alam yang sangat terbatas seperti yang terjadi di sebagian daerah di Propinsi NTT dan daerah lain di Indonesia. Ada yang disebabkan oleh budaya masyarakat setempat yang selalu hidup berpoya – poya, boros, etos kerja yang rendah, apatis terhadap situasi yang terjadi. Karena kemsikinan yang terjadi begitu rupa, maka penanganannyapun harus disesuaikan dengan karakter kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah. Ibaratnya kita harus secara tepat mendiagnosa penyakit yang diderita oleh sipasien, jangan sampai pasiennya menderita sakit kepala atau sakit jantung akan tetapi kita memberinya obat yang tidak cocok dengan jenis penyakit yang dideritanya. Begitulah pentingnya mengakomodasi situasi dan kondisi yang terjadi di setiap lokasi dalam sebuah program pengentasan kemiskinan.  

Penutup
Semoga saja para pembaca yang budiman, dapat terinspirasi dari ide yang sangat sederhana ini. Dan silahkan disempurnakan sehingga ide sederhana ini dapat juga berkontribusi terhadap upaya – upaya pengentasan kemiskinan di negeri tercinta ini, Indonesia.





Rembang, Juli 2006



Syamsu Salewangang Daeng Gajang

Selasa, 06 Maret 2012

Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat

                                

Tujuan :

  1. Memastikan proyek air bersih berjalan sesuai tujuan.
  2. Menjamin keberlanjutan program air bersih tetap dikelola dengan baik oleh masyarakat walaupun pendampingan dari LSM telah berakhir di desa tersebut.
  3. Meningkatkan dan mempertahankan akses keluarga miskin terhadap air bersih secara berkelanjutan.


Penjelasan

Social Preparation
Langkah pertama dalam proyek ini adalah melakukan persiapan social yang bertujuan agar seluruh anggota masyarakat dan pemerintah mengetahui tujuan proyek, kesiapan mereka berpartisipasi dalam proyek dan komitmen dari masyarakat untuk memelihara proyek tersebut agar dapat terus menerus dinikmati oleh masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah agar tertanam rasa kepemilikan dari masyarakat. Persiapan social dilakukan melalui pertemuan – pertemuan dengan kelompok – kelompok masyarakat seperti kelompok ibu – ibu, kelompok bapak – bapak dan tokoh masyarakat serta pemerintah. Bahkan dengan kelompok anak baik laki – laki maupun perempuan. Dari seramgkaian pertemuan tersebut terjadilah kesepakatan bahwa masyarakat akan bersungguh – sungguh untuk menyukseskan proyek tersebut dengan memberikan kontribusinya berupa tenaga, pikiran dan bahkan material jika saatnya dibutuhkan. Disamping itu juga dilakukan penyadaran – penyadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya air dengan melakukan berbagai tindakan seperti penghutanan kembali atau kegiatan lain yang bertujuan untuk melakukan perlindungan terhadap sumber air seperti kegitan konservasi secara terintegrasi dengan peruntukkan lainnya.

Hal penting yang juga dilakukan adalah bagaimana memanfaatkan air sebijak mungkin serta bagaimana mengoptimalkan fungsi air dalam kehidupan seperti kesehatan lingkungan dan tempat tinggal atau bagaimana air dapat digunakan untuk pengembangan tanaman obat dan tanaman gizi dengan menggunakan tanah pekarangan dan seterusnya. Hal lain yang juga perlu dipersiapkan sejak awal adalah bahwa kalau masyarakat menginginkan terus menerus menikmati air bersih ini maka sejak awal mereka diajak menghitung kira – kira berapa besar iuran yang harus mereka kontribusikan kepada Badan Pengelola. Iuran itu akan digunakan sebagai biaya operasional dan pemeliharaan serta tabungan untuk mempersiapkan penggantian instalasi ketika usia teknis dan ekonomis dari system ini sudah berakhir.  Jika perlu penghitungan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan sebanyak – banyaknya calon pemanfaat dan para pihak yang berkepentingan dengan system air bersih ini :

Berikut adalah contoh perhitungan iuran bulanan secara sederhana :

Estimasi :
Nilai proyek                : 75.000.000
Usia instalasi               : 5 tahun (60 months)
Beneficiaries               : 150 KK

Maka               = 75.000.000  
                           ---------------- = 500.000   x 1/60      
                                    150     


Iuran                = 3.300/kk/month

Artinya pada tahun ke enam masyarakat telah mengumpulkan dana sebesar Rp. 75.000.000 untuk mengganti instalasi tersebut karena diasumsikan usia ekonomis dan teknis telah mencapai 5 tahun sehingga instalasi tersebut dianggap telah aus, maka harus dilakukan penggantian system secara keseluruhan. Nilai Rp. 75.000.000 jelas merupakan bukan nilai pasti karena tentu nilai uang akan mengalami penyesuaian dalam kurung waktu 5 tahun itu misalnya inflasi, fluktuasi harga material dan biaya operasional lainnya yang sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap penyesuaian harga. Ini dihitung secara bersama – sama dengan masyarakat sehingga mereka merasakan betul – betul menjadi pemilik sesungguhnya. Dengan demikian kita telah meminimalisir potensi konplik di antara mereka karena semuanya telah jelas dari awal.

Establishing a project committee
Setelah persiapan social dirasa telah cukup matang, maka dilanjutkanlah pada step selanjutnya yaitu pembentukan panitia proyek dalam suatu musyawarah. Panitia proyek tersebut dipilih oleh masyarakat secara demokratis sehingga mereka yang terpilih akan menyadari bahwa mereka adalah orang – orang yang dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi panitia proyek. Panitia proyek mempunyai struktur organisasi dimana setiap orang mempunyai tugas dan tanggungjawab masing – masing berdasarkan posisinya dalam struktur organisasi. Panitia proyek inilah yang akan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan selama pekerjaan proyek. Pengelolaan kebutuhan proyek tersebut tentunya akan disesuaikan dengan mekanisme yang kemungkinan terjadi dalam pelaksanaan proyek . Apakah pengelolaan oleh masyarakat sendiri atau dengan pembelian material oleh donatur. 

Akan tetapi biasanya jika proyeknya membutuhkan tenaga ahli dan peralatan dalam jumlah besar dengan jumlah dana yang besar, maka akan dikelola oleh lembaga donor pengadaan materialnya. Sedangkan masyarakat akan melakukan pekerjaan pemasangan material, atau mengkordinir tenaga kerja yang akan membantu. Setelah proyek selesai dan telah diterima oleh masyarakat, maka panitia proyek akan membuat laporan pertanggungjawaban sebagai bentuk tanggungjawab panitia proyek dalam mengelola proyek tersebut. Pemilihan teknologi dan material yang akan digunakan dalam proyek melalui diskusi dengan panitia proyek agar mereka mendapatkan pembelajaran tentang bagaimana mekanisme dan aturan main serta prinsip – prinsip kerja yang dianut oleh lembaga donor. Proses ini juga adalah dalam rangka melakukan transformasi tentang cara kerja yang professional yang terbebas dari KKN.  Setiap alasan – alasan yang melatarbelakangi sebuah keputusan dijelaskan secara terbuka dan transparan yang tentunya didukung oleh fakta – fakta yang rasional.    

Establishing a community water management body
Setelah semua pengerjaan fisik seperti instalasi pipa, pembangunan  bak – bak penampungan dan lain – lain telah rampung, maka proyek dianggap telah selesai. Maka tahap selanjutnya adalah pembentukan Badan Pengelola Air Minum (BPAM)  yang bertugas mengkordinir pemanfaatan air minum oleh keluarga dan masyarakat. BPAM dibentuk melalui musyawarah yang diikuti oleh anggota masyarakat seperti kelompok ibu – ibu dan kelompok bapak – bapak serta para tokoh baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat bahkan suara anak juga perlu dipertimbangkan. Mereka dipilih secara demokratis. BPAM akan menyusun rancangan AD/ART, program kerja dan lain – lain yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas organisasi. Struktur BPAM terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, teknisi dan seterusnya disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam rangka memperkuat kapasitas organisasi, maka pengurus BPAM akan difasilitasi untuk mendapatkan pelatihan managemen organisasi (leadership), bussines plan, administrasi keuangan, teknisi dan seterusnya disesuaikan dengan kebutuhan. Hasil – hasil kerja dari pengurus BPAM akan dipertanggungjawabkan pada pertemuan Rapat Anggota Tahunan. Rapat Anggota Tahunan ini adalah mekanisme pengambilan keputusan organisasi yang paling tinggi kedudukannya. RAT akan mengevaluasi kinerja pengurus dan sekaligus sebagai media untuk memutuskan program kerja dari pengurus BPAM. Masa bakti kepengurusan dan aturan main lainnya diatur dalam AD/ART.

Monitoring dan Evaluasi
Mekanisme monitoring dan evaluasi sebaiknya diatur dalam aturan main yang telah disepakati misalnya pertemuan pengurus sekali sebulan atau dua kali sebulan, dipersilahkan untuk mengaturnya sesuai kebutuhan. Yang pasti setiap tahun akan ada RAT yang akan menjadi media pengambilan keputusan tertinggi organisasi yang dihadiri oleh sebanyak – banyaknya anggota.  

Penutup
Jika alur proses tersebut di atas telah dilakukan bersama dengan mereka, maka jangan lupa untuk melakukan refleksi dan penyegaran serta monitoring dan evaluasi secara bertahap. Hal ini dilakukan agar terjadi internalisasi prinsip – prinsip kerja yang sistimatis di kalangan pengurus yang akhirnya berimplikasi kepada penciptaan sumber daya manusia yang professional di masyarakat. Demikianlah inputs dari saya  sekedar berbagi pengalaman, siapa tahu ini dapat membantu teman – teman dalam memfasilitasi proses yang relative sama dengan pengalaman tersebut di atas. Sedangkan untuk penyempurnaan dari proses tersebut di atas silahkan teman – teman semua melakukannya di lokasi yang didampingi yang tentunya disesuaikan dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi. Selamat bekerja dan tetap sukses.   



Ditulis di Rembang – Jawa Tengah
Juli 2005.


Daeng Gajang

Minggu, 04 Maret 2012

Cerita dari Bangladesh

Kunjungan ke Bangladesh yang berlangsung dari 21 – 27 Nopember 2008 sungguh merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Kegiatan di Bangladesh adalah dalam rangka mengikuti global meeting the Food and Nutrition Security Program kerja sama dengan Plan Belanda. Peserta dari meeting ini antara lain dari Asia ( Bangladesh dan Indonesia), Afrika (Benin, Ghana, Ethopia), Amerika Latin (Peru, dan Nigaragua). Meeting berlangsung di Hotel Blossoom Asia Pacific yang terletak
di Biadara Road
. Pada meeting ini juga diagendakan kunjungan lapangan di salah satu Program Unit di Plan Bangladesh yaitu PU Sreepur yang berlangsung pada 24 Nopember 2008. Berikut oleh – olehnya :


Pada 21 Nopember 2008 meninggalkan Jakarta dengan menggunakan SQ Air pada pukul 14.00 wib melalui Singapura dan selanjutnya ke Dhaka pada malam hari sekitar pukul 20.00 waktu Singapura dan sampai di Dhaka pada pukul 21.35 waktu Dhaka (2 jam lebih lambat dari wita). Setelah menyelesaikan pemeriksaan passport oleh petugas imigrasi di Bandar udara international Ziaurrahman Dhaka, selanjutnya melakukan penukaran uang dari dollar ke taka. 1 $ sama dengan 68 taka. Kami telah ditunggu oleh jemputan dari hotel tempat kami menginap yaitu Hotel Blossom Asia Pacific. Hotel ini sekelas bintang 3 namun fasilitasnya lebih sederhana dibandingkan hotel sekelas di Indonesia. Rombongan dari Plan Indonesia terdiri dari 6 orang yaitu saya sendiri Syamsu Salewangang (AM NT Area), Wahdini Hakim (Health Specialist CO), Agusman Rizal (FNS Coordinator NT), Duma Octavia (Health Coordinator NT Area), Sabaruddin (PUM PU Lembata) dan Nurhasanah (FNS Facilitator PU Dompu).

Pada 22 Nopember 2008, kami menghabiskan waktu seharian di ruang meeting hotel untuk menyelesaikan bahan – bahan presentasi yang belum rampung sejak dari Indonesia (Dompu dan Jakarta). Malam harinya, kami makan malam di Restoran Golden Rice di sekitar pusat kota Dhaka. Ke restoran ini dengan menggunakan jasa rental car yang disediakan oleh hotel. Biayanya sekitar 500 taka perjam. Setelah makan malam, kami jalan – jalan di pusat perbelanjaan Gulshan II. Katanya sih disinilah pusat kota Dhaka seperti bundaran HI di Jakarta. Namun kondisinya sangat semrawut dan jorok. Sebenarnya lebih layak dibilang pusat pasar grosir tradisional karena sangat jauh dari penataan sebagai mana pusat – pusat kota besar lainnya di dunia.

Pada 23 Nopember 2008, pembukaan kegiatan dilakukan di salah satu hotel di Dhaka yang lokasinya di sekitar Gulshan I yaitu Hotel Lake. Acara pembukaan dihadiri oleh perwakilan dari kementrian kesehatan dan pertanian Bangladesh yang terkait langsung dengan program Food and Nutrition Security. Juga dihadiri oleh perwakilan kedutaan besar Belanda di Dhaka. Setelah pembukaan, sesi presentasi dari setiap negara peserta dilakukan dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Yang menarik adalah peserta dari kawasan Amerika Latin yang terdiri dari Peru dan Nicaragua tidak bisa berbahasa Inggeris, jadi mereka harus selalu didampingi oleh translator bahasa Spanyol. Asyik juga nih berdiskusi dengan berbagai macam bahasa yaitu English, Bangladesh, Spanyol, France dan Indonesia.  

Pada 24 Nopember 2008, agenda workshop adalah membuat road journey dan rich picture dari Livelihood Learning Group oleh setiap Negara. Pembuatan road journey oleh Indonesia, Bangladesh dan Nigaragua. Sedangkan untuk rich picture adalah Ethopia, Peru, Ghana dan Benin. Setiap negara mempresentasikan hasil kerjanya dan disertai dengan tanya jawab. Kami sendiri dari Indonesia berbagi cerita sukses tentang Penguatan Komite Pangan dan Gizi Desa dalam penurunan jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Sikka, Lembata dan Dompu. 

Pada 25 Nopember 2008, kunjungan lapangan di Sreepur PU. Perjalanan ke PU Sreepur, sekitar 2 jam dari Dhaka dengan menggunakan mobil. Setelah rombongan diterima oleh Program Unit Manager (PUM) dan dijelaskan tentang Program Unit (PU) Sreepur. Staf PU Srepur terdiri atas PUM dan beberapa Project Officer. Dalam mengimplementasikan program – programnya, PU Sreepur bermitra dengan beberapa NGO local sesuai dengan keahlian dari masing – masing NGO. Misalnya agriculture, microfinance, etc. Selanjutnya rombongan melakukan kunjungan ke desa – desa yang telah disiapkan yaitu antara lain kegiatan vaksinasi ternak sapi dan ayam, training kompos dan agriculture, kunjungan ke salah satu rumah tangga, komite desa, kunjungan ke pemerintah local (kepala union dan kepala sub district). 

Kunjungan ke posyandu hewan ternak
Kegiatan utama dari kelompok ini adalah vaksinasi hewan ternak yang umumnya adalah  sapi dan ayam. Kegiatan ini difasilitasi oleh mantri peternakan dari level kecamatan yang bekrja sama dengan kelompok peternak di desa – desa. Jadwal vaksinasi dari ternak – ternak tersebut telah diatur sedemikian rupa secara periodek. Setiap kali vaksin, para peternak membayar sebesar 2 taka perekor. Untuk lebih memudahkan memahami mekanisme kerja dari kelompok ternak ini, saya menyebutnya dengan Posyandu hewan ternak. Hasil dari peternakan sapi dan ayam yang dikelola oleh kelompok ini digunakan untuk kegiatan pertanian, dijual ke pasar hewan dan susu sapi. Sayang sekali waktu kunjungan sangat tergesa – gesa sehingga tidak sempat mendalami lebih jauh tentang kegiatan peternakan ini. Misalnya bibit, analisa usaha, pasar, kontribusi terhadap income, dan lain – lain.

Kunjungan ke kelompok agriculture
Pada saat kunjungan, mereka sedang mengadakan pelatihan pupuk kompos yang difasilitasi oleh staf dinas pertanian dari level kecamatan. Kegiatan ini juga adalah atas kerja sama antara kelompok tani dengan dinas pertanian setempat. Kompos digunakan untuk tanaman padi, sayur – sayuran dan tanaman pekarangan lainnya.

Kunjungan ke rumah tangga
Tradisi rumah tangga di Bangladesh sama dengan di India yaitu mereka tinggal bersama dengan keluarga besar. Biasanya dalam satu rumah terdiri dari beberapa rumah tangga. Semua anak laki – laki akan membawa isterinya tinggal bersama di rumah dan semua anak perempuan akan ikut tinggal bersama keluara suaminya. Bangunan rumah terdiri atas beberapa bangunan yang berhadap – hadapan sehingga membentuk persegi empat. Bagian tengah adalah tanah kosong yang sekaligus digunakan untuk menjemur padi, pakaian, dan kegiatan pengolahan pangan lainnya. Dapur berada pada salah satu bangunan. Rumah tradisional terbuat dari tanah liat yang dibentuk menyerupai bangunan yang terbuat dari batu dan semen. Dinding dan lantai sama – sama terbuat dari tanah sedangkan atap terbuat dari genteng yang juga terbuat dari tanah liat.

Kunjungan ke Pemerintah Union
Tingkatan pemerintahan di Bangladesh terdiri atas pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah district (kabupaten), pemerintah kecamatan (sub district), pemerintah union, pemerintah desa. Level union biasanya terdiri dari 10 – 15 desa. Union juga adalah daerah otonom dimana pemerintahnya dipilih langsung oleh rakyat. Pemerintah di tingkat union mengkoordinir kemitraan dengan lembaga – lembaga non pemerintah yang bekerja di wilayah masing – masing dengan melakukan rapat koordinasi secara periodek sehingga hubungan yang sangat harmonis antara lembaga – lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah dapat berjalan dengan baik.

Kunjungan ke pemerintah sub district
Kunjungan ke pemerintah tingkat sub district diterima oleh wakil kepala sub district dan didampingi oleh wakil – wakil dari departemen antara lain pertanian, peternakan, pendidikan, kesehatan dan sanitasi dan lingkungan hidup. Yang dijelaskan adalah bagaimana peran dari pemerintah setempat memfasilitasi kerja sama antara pemerintah dan NGO dengan melakukan rapat koordinasi yang terjadwal dan kunjungan ke masyarakat. Dia menjelsakn pula keberhasilan yang dicapai atas kerja sama dengan NGO adalah tercapainya 100% ketersediaan latrine (jamban keluarga) di wilayahnya.
Ada sesuatu yang membuat saya sangat penasaran setiap kali diterima di ruang meeting oleh pemerintah setempat. Sesuatu itu adalah pada kursi pimpinan, selalu ditaruh sehelai handuk di bagian sandaran kursi tersebut. Karena rasa penasaran yang tak tertahanka, maka sayapun bertanya kepada salah seorang staf pemerintahan yang dikunjungi perihal handuk yang terpajang di kursi pimpinan tersebut. Ooo my GOD, ternyata itu adalah simbol penghargaan bagi 'pemimpin' yang duduk di kursi tersebut. Cuma sayangnya saya tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut, mengapa menggunakan handuk? Bukankah Bangladesh sangat terkenal dengan produksi kain sari? Mengapa bukan kain sari? Tapi sudahlah, yang terpenting saya sudah tahu bahwa kursi yang digantungi handuk adalah kursi yang akan diduduki oleh pemimpin sebagai bentuk penghormatan.

Pada 26 Nopember 2008, kegiatan workshop kembali dilakukan di ruangan dengan agenda sebagai berikut refleksi untuk hari kedua yang dibawakan oleh Plan Indonesia dan refleksi hari ketiga oleh Plan Peru dan Nigaragua. Saya sendiri mempresentasikan hasil – hasil refleksi yang dihasilkan oleh Plan Indonesia. Agak nerfous juga membacakan presentasi ini karena harus dalam bahasa Inggeris. Namun setelah memulai, keadaan dapat dikendalikan dengan baik dan presentasi dapat berjalan dengan normal. Memang harus lebih banyak lagi membaiasakn diri berkomunikasi verbal dalam bahasa Inggeris agar nerfouse dapat diminimalisir jika tampil pada event – event international termasuk membaca teks – teks dalam bahasa Inggeris dengan suara. Agenda selanjutnya adalah presentasi dari Benin dan Ghana karena mereka terlambat datang sehingga agenda yang seharusnya dilakukan pada hari pertama dan kedua, dengan terpaksa dilakukan lagi khsusu untuk kedua negara ini. Yang menarik adalah presentasi Benin yang dibawakan dengan menggunakan bahasa France. Sedangkan Ghana dibawakan dalam bahasa Inggeris karena ternyata Ghana adalah salah satu negara yang berutur dalam bahasa Inggeris.

Pada 26 Nopember 2008, salah satu presentasi yang menarik adalah tentang the most significant change yang dibawakan oleh Evelin dan sharing field practice oleh PSM Plan Bangladesh (Mr. Syaiful Islam).

Pada 27 Nopember 2008, penyusunan action plan dari masing – masing negara dan evaluasi. Setiap negara mempresentasikan action plan yang akan dilakukan dalam rangka menindaklanjuti beberapa rekomendasi yang dihasilkan selama workshop sehingga ALP betul – betul dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas program terutama FNS project.

Pada 27 Nopember 2008 malam diadakan jamuan makan malam oleh Plan Bangladesh di salah satu restoran mewah di Dhaka. Makan malam diisi dengan pertunjukan kesenian tradisional yang dipersembahkan oleh kelompok binaan dari Plan Bangladesh. Kesenian yang ditampilkan adalah musik dan tari tradisional Bangladesh. Karena musiknya sangat mirip dengan irama musik dangdut, maka saya memberanikan diri menyanyi dangdut yaitu Qana. Ternyata lagu qana yang saya bawakan seadanya ini cukup membuat suasana menjadi lebih hidup dan lebih cair karena semua peserta akhirnya berjoget dan menari bersama. Lumayan suasana makan malam ini cukup membawa kondisi lebih segar dan enjoy. Dan pada malam itu pula selepas makan malam, rombongan Plan Indonesia langsung ke Bandara Zia untuk pulang ke Jakarta dengan pesawat SQ pada jam 23.00 waktu Dhaka via Singapura dan mendarat di Bandara Sukarno Hatta pada pukul 8.00 wib.               



Ditulis di Jakarta pada 1 Desember 2008



Syamsu Salewangang Daeng Gajang  

Rabu, 08 Februari 2012

Rakyat Takalar butuh Bupati sekaligus Pemimpin

Ulang tahun Kabupaten Takalar tahun ini sungguh istimewa karena akan ada peristiwa besar yang akan terjadi pasca perayaan ulang tahun ini antara lain Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Takalar pada Oktober 2012. Pemilukada bukan hanya sekadar kegiatan rutin untuk memilih Bupati Takalar pada periode berikutnya, akan tetapi sejatinya momentum Pemilukada seyogyanya digunakan pula sebagai ikhtiar bagi rakyat Takalar untuk menentukan pemimpinnya pada lima tahun ke depan. Jadi Takalar tidak hanya sekadar membutuhkan pejabat Bupati, akan tetapi juga membutuhkan seorang pemimpin.
Kenapa pemimpin? Karena ditangannyalah arah dan kemudi Takalar ini akan dibawa. Nasib rakyat akan ditentukan, apakah akan semakin baik, ataukah malah sebaliknya akan semakin mundur. Telah banyak Bupati yang telah memerintah, ada yang memerintah 5 tahun, 10 tahun dan ada juga yang kurang dari 5 tahun. Sayangnya rapor dari para pejabat tersebut tidak atau belum pernah dipublikasikan secara luas di masayarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada rakyat yang dipimpinnya. Apa sesungguhnya yang dia telah lakukan selama menjadi pejabat.
Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten yang dihuni oleh masyarakat yang beretnik Makassar sehingga ini juga menjadikan Takalar sebagai wilayah inti dalam pelaksanaan adat istiadat dan kebudayaan Makassar. Namun kesan itu semakin hari, semakin hilang karena terlindas oleh zaman yang disebut dengan modernisasi. Walaupun modernisasi ini telah meluluh lantakkan sendi – sendi kehidupan masyarakat yang sejatinya mempunyai juga sebuah tatanan kehidupan yang telah dilalui selama berabad – abad, yang menjadikan kearifan – kearifan local sebagai pondasinya.
Di zaman Kerajaan Gowa, wilayah inipun merupakan salah satu wilayah penyangga utama kekuatan Kerajaan Gowa dalam menghadapi invasi dari VOC. Bagaimana tidak, di wilayah ini setidaknya ada 3 kerajaan besar yang pernah eksis antara lain Kerajaan (Karaeng) Galesong, Kerajaan (Karaeng) Sanrobone dan Kerajaan (Karaeng) Polong Bangkeng. Ketiga kerajaan ini bahu membahu dengan persatuan yang sangat kuat, telah membuktikan bahwa mereka telah berbuat sesuatu yang sangat besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia di masa depan. Jika potret di masa lalu ini digunakan pada kondisi kekinian, maka seyogyanya Kabupaten Takalar tidak henti – hentinya mencetak prestasi yang membanggakan, terutama dalam hal kesejahteraan rakyat. Kabupaten Takalar mewarisi kebesaran dari 3 kerajaan sekaligus untuk mencapai hal tersebut.
Adalah I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingaloang, Mangkubumi Kerajaan Gowa telah memberikan pesan luhur kepada para pemimpin, baik pemimpin di zamannya maupun para pemimpin di masa sekarang, agar para pemimpin dapat menjaga amanah yang diberikan kepadanya oleh rakyatnya. Pesan – pesan tersebut antara lain berbunyi : Lima passala’ kapanrakanna se’rea kalompoang iyami antu : (1) punna tenami na ero’ nipakainga’ karaeng ma’gauka, (2) punna angnganremo soso’ pabicarayya, (3) punna majai gau’ lompo ri pa’rasanganga, (4) punna tenami tumangngasseng ri lalang pa’rasanganga, (5) punna tenamo nakamaseangi atanna karaeng ma’gauka. Terjemahannya adalah sebagai berikut : Ada lima hal yang menyebabkan mundurnya sebuah pemerintahan yaitu (1) bila pemimpin tidak mau menerima nasehat dan masukan, (2) bila para pejabat pemerintahan telah memakan suap dan sogok, (3) bila terlalu banyak peristiwa besar dalam wilayah pemerintahan, (4) bila sudah tidak ada cerdik pandai dalam negeri dan (5) bila pemimpin yang sedang berkuasa, tidak lagi menyanyangi rakyatnya.
Pesan ini begitu syarat akan makna moral bahwa betapa penting seorang pemimpin menjunjung tinggi nilai – nilai moral dalam menjalankan pemerintahnnya. Bahwa jika pemimpin telah menafikan nilai – nilai moral, baik yang berasal dari agama maupun dari budayanya, maka tunggulah saat – saat kejatuhan dari pemimpin tersebut. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah  misalnya kejatuhan rezim orde baru pada 1998, kejatuhan rezim Ben Ali di Tunisia pada 2010, kejatuhan rezim Husni Mubarak di Mesir pada 2010. Kondisi inipun berlaku untuk pemimpin – pemimpin di daerah termasuk di Takalar, jika tidak mengindahkan etika moral kepemimpinan dalam menjalankan roda pemerintahannya.   
Walaupun pesan ini diucapkan oleh Karaeng Pattingaloang sekitar 4 abad yang lalu, namun kelihatannya masih sangat relefan dengan kondisi saat ini. Apalagi Kabupaten Takalar yang memang merupakan wilayah inti dari Kerajaan Gowa di masa lalu. Karena itu seyogyanyalah para pemimpin yang ada di Takalar saat ini, menjadikan pesan moral ini sebagai ‘pakem’ dalam menjalankan roda pemerintahannya, agar apa yang dicita – citakan melalui ikhtiar kepemimpinan dapat tercapai dengan baik. Tidak bisa dipungkiri bahwa kejatuhan Kerajaan Gowa pada masa itu, salah satunya juga disebabkan oleh banyaknya pemimpin (karaeng) yang tidak mengindahkan peringatan dari Karaeng Pattingaloang tersebut, disamping tekanan dari VOC dan sekutu – sekutunya.
Walaupun zaman telah berobah, namun akar budaya dari etnik Makassar tetap seperti sedia kala. Suku bangsa ini belum pernah berganti identitas, budaya dan adat istiadat, apalagi nilai – nilai luhur. Karena itu diharapkan para pemimpin yang ada saat ini, agar kembali memaknai pesan – pesan dari para pemimpin terdahulu karena disitulah bersemainya nilai – nilai luhur dan moral yang tinggi bagi seorang  pemimpin untuk ditauladani oleh komunitas yang dipimpinnnya. Tak ada masyarakat (kaum) yang mengalami kemajuan kalau bukan kaum itu sendiri yang melakukannya. Artinya sesungguhnya potensi yang akan didayagunakan untuk tercapainya kemajuan dari suatu masyarakat itu, sudah tersedia di dalam masyarakat itu sendiri sebagai potensi dasar. Bisa melalui kearifan – kearifan local yang disemai dalam lingkungan kehidupan sehari – hari seperti budaya, adat istiadat, system kemasyarakatan dan lain – lain.   
Untuk menyemangati para pemimpin agar tetap gigih dalam memperjuangkan apa yang dicita – citakannya (visinya), maka oleh Karaeng Galesong (I Manindori Daeng Tojeng) pun telah memberikan pesan kepada para laskar yang mengiktuinya berjuang melawan VOC di Jawa Timur dengan pesannya yang berbunyi : Jarreki tannang gulinnu, nani to’do’ puli minasayya (Bulatkan niat dan tekad, untuk berjuang mencapai tujuan/visi). Jika saja para pemimpin, menjadikan semua ini sebagai tekad dan acuan dalam memimpin rakyatnya, maka kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita – citakan dalam UUD 1945, bukanlah merupakan suatu kemustahilan. Karena potensi yang dibutuhkan oleh pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan di hadapan rakyatnya sangatlah melimpah ruah adanya. Misalnya ketersediaan sumber daya alam yang begitu bervariasi, ada laut, persawahan, perkebunan, hutan dan gunung – gunung, ada sumber daya manusia yang mudah didapatkan, kapan saja pemimpin membutuhkannya. Bahkan saat ini dimana – mana bertebaran Perguruan Tinggi yang siap mensuplai kebutuhan sumber daya manusia, seperti apapun kualifikasi yang dibutuhkan, ada sumber daya social yang ditopang oleh peradaban yang mengedepankan nilai – nilai kemanusiaan sebagai nilai utama (sipakatau, sipala’biri dan sikatutui) yang telah dipraktekkan turun temurun, ada sumber daya ekonomi yang tak lagi mengenal batas – batas wilayah administrative negara, bahkan garam dan ikan dari luar negeripun, dapat ditemukan di pasar – pasar tradisional di Indonesia, kenapa tidak misalnya suatu saat nanti garam dan ikan segar dari Takalar dapat pula dijumpai di pasar – pasar Negara lain, serta sumber daya teknologi dan informasi yang dapat digunakan sesuai kebutuhan. Termasuk jika ingin digunakan dalam rangka kemudahan pelayanan kepada rakyat dan berinteraksi langsung antara pemimpin dengan rakyatnya. 
Dengan penggambaran tersebut di atas, sungguh – sungguh tidak ada alasan bagi pemimpin untuk tidak dapat mewujudkan kesejahteraan di hadapan rakyatnya sebagaimana janji mereka pada saat melamar untuk menjadi pemimpin, baik pemimpin di legislative (DPRD) maupun pemimpin di pemerintahan (Bupati).
Oleh karena itu melalui ikhtiar Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) Takalar periode 2012 – 2017, dapat dijadikan oleh rakyat Takalar sebagai momentum besar dan titik balik bagi kemajuan Takalar ke depan. Karena itu, dengan moral yang tinggi, rakyat Takalar dapat menentukan siapa calon Bupati yang akan dipilihnya. Tidak hanya sekadar memilih Bupati Takalar, akan tetapi sekaligus memilih Pemimpin Takalar untuk lima tahun ke depan.
Dan kepada para calon Bupati Takalar yang akan bertarung dalam pemilihan Bupati Takalar periode 2012 – 2017, secara moral pula dihimbau agar tidak hanya sekadar ingin memenangkan pemilihan  Bupati, akan tetapi sejatinya adalah sekaligus menjadi Pemimpin bagi rakyat yang dipimpinnya, menjadi Pemimpin Takalar yang akan membawa perobahan ke arah yang lebih baik dengan melakukan program – program kerja yang betul – betul menjawab kebutuhan dan keberpihakan kepada masyarakat. Jika hanya ingin dikenang sebagai penjabat Bupati Takalar 2012 – 2017 maka lebih baik urungkanlah niatnya untuk bertarung di Pemilukada ini, karena hanya akan menjadi beban sejarah di masa depan. Dan bahkan malah memperlambat terwujudnya kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama berdirinya NKRI yang kita cintai ini. Namun jika berikhtiar untuk ingin menjadi Pemimpin Sejati, pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin yang akan terus dibicarakan di masa depan, sebagaimana Rasululullah Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin telah contohkan,  maka wakafkanlah jiwa dan raga serta hidupnya untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin dan sekaligus Bupati Takalar yang membawa harapan besar bagi rakyat Takalar, sambil berkata pula kepada jajarannya di pemerintahan : Pakajarreki ta’galatta mange ri Karaeng Allah Ta’ala, nani to’do’puli kontu tojenga. Akhirnya dari jauh di bumi Cendana NTT, saya mengucapkan Dirgahayu Takalar ke 52, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kesejahteraan kepada Rakyat Takalar dan para pemimpin diberikan keteguhan hati untuk bekerja sekeras – kerasnya demi kemajuan butta pa’rappunganta……
Kupang, 3 Pebruari 2012

Syamsu Salewangang Daeng Gajang