Kamis, 01 Desember 2011

Appare – pare, sumber pangan yang hilang di rumah sendiri


Suku Makassar yang mendiami jazirah selatan Sulawesi memiliki budaya yang adi luhung yang telah diwariskan secara turun temurun. Dari spirit budayanya inilah yang membuat orang – orang Makassar mempunyai jiwa dan semangat serta karakter yang tidak mengenal lelah untuk terus berjuang pada semua bidang kehidupan yang mengiringi nafas kehidupan sehari –hari dari zaman dahulu kala sampai saat ini. Keteguhan hati yang pantang menyerah itu masih dapat ditemukan jejaknya kini sebagaimana yang mereka torehkan pada masa - masa penjajahan dan masa kemerdekaan serta masa – masa mengisi  kemerdekaan ini dengan berbagai ragam karya pembangunan. Ibarat kata, Orang Makassar akan terus berjuang tanpa koma.

Saat ini mereka sedang berjuang melawan keterbelakangan hidup dalam segala bidang diantaranya ilmu pengetahuan, social, budaya, politk, ekonomi dan lain – lain. Walaupun suku bangsa ini (Makassar) pernah menjadi symbol kejayaan dan kemajuan bangsa – bangsa di wilayah timur Nusantara (Indonesia) pada beberapa abad lalu, terutama pada zaman Kerajaan Gowa berada pada masa keemasannya,  namun tidak berarti bahwa saat ini kehidupan social ekonomi, budaya dan politik masyarakat Makassar dengan sendirinya tetap stabil dan meningkat. Akan tetapi disadari atau tidak disadari oleh orang Makassar sendiri bahwa sesungguhnya mereka sedang menghadapi sebuah kenyataan yang semakin hari semakin jauh dari nilai – nilai budaya Makassar yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.

Ada banyak contoh – contoh nyata yang perlu direnungkan bersama diantaranya penegakan spirit siri na pacce yang semakin luntur dan bahkan cenderung terjadi pergeseran dan penyempitan makna. Padahal nilai – nilai siri na pace sesungguhnya adalah pengejawantahan dari system kehidupan social, budaya dan ekonomi sebagai acuan dalam membangun system kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bahkan nilai – nilai siri’ na pace ini juga sangat relevan dengan system dan nilai – nilai yang diajarkan oleh agama Islam sebagai agama utama yang dianut oleh Orang Makassar.

Amat jarang lagi ditemukan praktek saling asuh, saling asih dan saling asah sebagai system sosial kemasyarakatan yang menjadi spirit utama dalam kehidupan sehari – hari sebagaimana ungkapan…. punna parallu ku koccikangki karro’- karrokku punna iapa la a’jari pa’balle ri katte (walaupun ini sudah tidak ada duanya, saya akan berikan kepada anda, jika hal ini bisa membantu)… spirit seperti ini nampaknya sudah terkubur dengan tenang dari landasan nilai dan sikap kita dalam bertindak. Justeru kecenderungan yang marak terjadi saat ini adalah siapa yang kuat (kuasa) dan siapa yang punya modal kuat (harta), maka dialah yang akan mendapatkan kekuasaan, bahkan kekuasaan itu nyaris tanpa batas. Dan celakanya kekuasaan tersebut cenderung pula disalahgunakan untuk semakin menancapkan kekuasaan yang telah direngkuhnya. Tidak mempunyai korelasi yang kuat antara kekuasaan yang dipegangnya dengan upaya mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Begitulah fenomena kehidupan social budaya Suku Makassar kini.

Adalah Appare – pare yang merupakan sebuah praktek budaya adi luhung dari suku Makassar yang telah punah ditelan zaman. Padahal tujuan dari appare – pare ini begitu mulia dan agung yaitu memberikan perlindungan terhadap orang miskin dari kelaparan. Appare – pare adalah sebuah mekanisme yang disepakati dan telah dipraktekkan sejak zaman nenek moyang kita dahulu, dimana masyarakat yang berpunya memberikan akses bagi keluarga miskin terhadap sumber – sumber pangan utama yang dimiliki antara lain padi, jagung, kacang – kacangan dan bahkan hasil – hasil tanaman perkebunan seperti kelapa, mangga dan lain – lain. Appare – pare ini dilakukan oleh para keluarga miskin di kampong – kampong sesaat setelah panen raya /besar (akkatto lompo) dilakukan oleh para pemilik sawah. Para pemilik sawah tidak keberatan, jika pada saat panen raya /besar (akkatto lompo), masih terdapat bulir – bulir padi yang tersisa karena secara sadar bahwa nanti akan ada orang lain (miskin) yang akan melakukan appare – pare atau sering disebut dengan akkatto ca’di.

Generasi yang lahir di atas tahun 1980an pasti akan bertanya : apakah itu appare – pare? Maka dengan bijak, kita para pendahulu mereka, mesti dengan sabar menjelaskan bahwa appare – pare adalah sebuah aktifitas panen padi, jagung dan sumber-sumber pangan lainnya yang dilakukan oleh keluarga – keluarga yang tidak punya lahan sawah setelah panen besar (akkatto lompo) telah dilakukan oleh para pemilik sawah/lahan. Praktek seperti ini tidak akan dapat ditemukan lagi dalam kekinian.

Namun akibat dari gerakan lappo ase yang digiatkan oleh pemerintah pada awal 1980an, maka pada saat itu pula praktek appare – pare ini mulai hilang dan akhirnya tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang. Padahal, mekanisme ini telah menjadi kearifan local bagi masyarakat Makassar dalam mempertahankan hidup dari kekurangan pangan khusunya bagi keluarga yang tidak berpunya. Atau dapat dikatakan bahwa appare – pare ini adalah sebuah copying strategi untuk tetap dapat survive. Sebuah strategi mempertahankan hidup yang disiapkan oleh budaya.

Lalu timbul lagi pertanyaan di benak para generasi muda, lalu mengapa musnah? Karena setelah gerakan lappo ase digalakkan, maka alat-alat produksi terutama alat yang digunakan pada saat panen padi juga berangsur – angusr diganti karena cara yang digunakan pada saat panenpun juga turut terganti dengan cara-cara baru yang diperkenalkan oleh lappo’ ase ini, yairu dari system petik bulir menjadi system potong batang. Tujuannya agar panen bisa lebih efisien dari segi waktu dan hasil panen bisa lebih optimal. Hal ini pula mengakibatkan terjadinya pergantian alat panen dari ani-ani (pakkatto) menjadi sabit dan clurit.

Tentu ada keuntungan – keuntungan yang didapat oleh para petani terutama para pemilik sawah/lahan dimana hasil panennya meningkat berlipat – lipat dan sangat mudah untuk diolah selanjutnya karena sudah dalam bentuk gabah dan pengangkutannyapun dari sawah ke rumah akan sangat mudah karena gabah-gabah tersebut sudah diisi dalam karung.

Namun tanpa disadari, ada pengorbanan (social cost) yang tidak kalah pentingnya yaitu memutus akses para keluarga miskin di kampung-kampung  terhadap sumber-sumber pangan yang justeru ini adalah merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu setiap masa panen tiba. Dan pula secara budaya, mereka juga telah dilindungi dari kelaparan dan diberikan haknya atas pangan. Situasi ini sudah barang tentu telah membawa akibat turunan, namun mungkin belum sepenuhnya disadari oleh kita semua misalnya semakin tipisnya ikatan emosional dan hubungan social antar warga masyarakat, pola relasi antar masyarakat mengalami perubahan drastis dari relasi yang mengedepankan nilai – nilai social menjadi pola relasi antara buruh dan majikan. Dan mungkin juga mengakibatkan melunturnya solidaritas social masyarakat pada banyak arena-arena social karena pola relasi yang terbangun selama ini telah tergantikan menjadi relasi yang bersandarkan pada sesuatu yang bersifat transaksional (ekonomi capital).

Segalanya dikonversi dan diejawantahkan dalam bentuk nilai ekonomis (business oriented).  Ada uang ada barang yang menjelma menjadi ada upah jika ada kerja. Pada beberapa tipe masyarakat yang akar budayanya tidak seperti Bangsa Makassar dan bangsa-bangsa lainnya di Indonesia seperti Bangsa Eropa dan Amerika, mungkin pola seperti ini sangat cocok diterapkan, karena nilai-nilai seperti ini memang berasal dari akar budaya mereka.

Namun bagi bangsa-bangsa yang budayanya dibangun atas nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan, akan mengalami banyak kesulitan dalam menerapkan pola transaksional seperti yang dijelaskan di atas. Belajar dari kasus appare-pare ini, akhirnya timbul berbagai macam pertanyaan dalam benak, yang boleh jadi akan menghantui sepanjang hidup. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain : Apakah ini yang disebut dengan soft power expansion? Apakah ini yang dimaksud dengan power of noe liberalism? Apakah ini yang disebut pembunuhan karakter? Kearifan-kearifan local apa lagi yang akan hilang? Dan Apakah ini yang dimaksud dengan matinya perdaban? Saya pribadi sama sekali tidak paham akan hal ini……wallahu alam bissawab……   



Ditulis di Kupang, 17 Oktober 2009


Daeng Gajang

Rabu, 14 September 2011

Dana Pendidikan Anak Takalar


Tujuan
  1. Memastikan jaminan pendidikan yang cukup bagi anak – anak berprestasi dari keluarga miskin di Takalar
  2. Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berakhlakul kharimah bagi pembangunan Takalar di masa depan 
  3. Terciptanya kesadaran kritis dari berbagai pihak di Takalar untuk membebaskan Takalar dari keterpurukan social, budaya dan ekonomi
Penjelasan
Dana pendidikan untuk anak – anak Takalar ini adalah sebuah usaha social, nir laba serta independen yang diharapkan menjadi sebuah gerakan kolektip oleh masyarakat Takalar baik yang berdiam di Takalar maupun yang di luar Takalar dan atau pihak – pihak yang peduli dalam membangun sumber daya manusia Takalar di masa depan. Disamping itu juga dimaksudkan untuk membangun harmonisasi social diantara anggota masyarakat dan atau dengan pihak – pihak  lain yang selama ini cenderung semakin rapuh.

Indikasinya dapat ditemukan antara lain dengan semakin kurangnya saling kepedulian diantara anggota masyarakat dalam interaksi social dalam kehidupan sehari – hari dimana ada kecenderungan bahwa setiap orang akan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Pola hubungan social yang selama ini telah terjalin baik di tengah masyarakat dan bahkan telah menjadi nilai – nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa ini (Makassar) telah mengalami pergeseran jauh dari akarnya. Maka diharapkan dengan adanya gerakan pengembangan dana pendidikan untuk anak – anak Takalar ini, akan menjadi benang merah yang akan menjalin kembali rasa solidaritas, ikatan emosional yang akhirnya berbuah kebersamaan dalam membangun sumber daya manusia melalui pendidikan yang pembiayaannya diusahakan bersama dalam sebuah badan pengelola yang disebut Badan Pengelola Dana Pendidikan Anak Takalar.

Gerakan ini didasari oleh minimnya SDM berkualitas yang berasal dari Takalar karena banyak diantara mereka yang tidak sempat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan  drop out dari pendidikan formal yang disebabkan oleh ketidakberdayaan orang tua baik secara social maupun ekonomi untuk memberikan pendidikan yang cukup terhadap  anak – anak mereka. Ketidakberdayaan secara social dimaksudkan antara lain kurangnya kesadaran orang tua, pengaruh lingkungan dan perkawinan dini, sedangkan ketidakberdayaan secara ekonomi antara lain kemiskinan dan ketidakmampuan memenuhi biaya – biaya yang harus ditanggung dalam kebijakan pendidikan.

Situasi seperti ini kalau dibiarkan berlarut – larut, akan mengakibatkan terjadinya stagnasi perkembangan peradaban dan loss generation bagi Takalar dan mungkin juga etnik Makassar (Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar). Disadari atau tidak, sebenarnya gejala menuju kepada stagnasi peradaban dan loss generation telah terjadi. Indikasinya, dewasa ini kita sudah sangat kesulitan menemukan sosok – sosok cerdik pandai nan bijak dari kalangan etnik Makassar apalagi Takalar. Yang ada hanya politisi – politisi kelas local yang tentunya hanya sibuk memikirkan kelanggengan kekuasaan kelompok bukan tokoh – tokoh yang berpihak kepada kemuliaan peradaban dan harkat dan martabat kemanusiaan. Sesungguhnya apa yang coba digagas ini sangatlah relevan dengan tujuan ‘Millenium Development Goal’ yang salah satunya adalah Education for All..    

Mekanisme Pelaksanaan
Diawali dengan diskusi dan mengkritisi gagasan ini dengan pihak – pihak yang mempunyai kepedulian terhadap masa depan anak – anak Takalar yang tidak dapat akses kepelayanan pendidikan walaupun sebenarnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Dari diskusi ini diharapkan terbangunlah sebuah komitmen dari pihak – pihak yang sepaham untuk sepakat melakukan sesuatu yang berarti bagi anak – anak khususnya Anak Takalar melalui program Dana Pendidikan Anak Takalar. Konsep ini terbuka dikritisi (ditambah atau dikurangi) untuk penyempurnaan dan seterusnya. Membangun komitmen dengan berbagai pihak dapat dilakukan melalui diskusi langsung bertatap muka maupun diskusi dengan menggunakan email atau web site Pemkab Takalar atau bahkan dalam sebuah lokakarya khusus agar sejak awal tujuan dari program ini dapat diketahui secara luas oleh masyarakat yang diharapkan pula dapat memberikan konstribusinya dalam mengembangkan program ke depan.

Dalam artian bahwa senantiasa disiapkan space untuk masyarakat agar dapat memberikan partisipasinya, sehingga mereka akan menjadi subyek sekaligus obyek dalam program. Setelah komitmen nyata telah diberikan oleh para pihak, maka dibentuklah sebuah badan independent yang akan menjadi pelaksana operasional. Namun sebelum badan ini dibentuk, disusun terlebih dahulu syarat – syarat seseorang dapat menjadi anggota badan pelaksana. Syarat – syarat tersebut sedapat mungkin melibatkan masyarakat dalam penyusunannya atau bahkan kalau dimungkinkan pengurus badan pengelola adalah orang – orang yang direkomendasikan oleh masyarakat luas karena keteladananya selama ini dalam sebuah rembug.

Setelah badan pengelola terbentuk,  pengurus (executive) akan menyusunan rencana kerja, tugas dan tanggungjawab dari masing – masing anggota. Setelah itu diberikanlah pelatihan – pelatihan yang relefan kepada pengurus yang bertujuan untuk meningkatkan skill dalam pengelolaan manajemen dari badan tersebut. Sebagai contoh pelatihan leadership, social marketing, analisa social, management organisasi dan lain – lain. Setelah pengelolanya sudah disiapkan, maka pengelola akan melakukan lokakarya dengan para pihak/masyarakat untuk menentukan kriteria anak – anak yang menjadi target group serta aturan main yang diperlukan seperti apakah dana tersebut bersifat hibah atau pinjaman. Kalau dipinjam bagaimana bentuk pengembaliannya apakah secara angsuran dengan bunga dst.

Begitu juga bagaimana merekrut calon donatur dan bagaimana menggalang konstribusi dari masyarakat luas termasuk bagaimana dengan badan hukum dari lembaga ini. Atau misalnya ada pemikiran lain untuk menanamkan modal yang ada pada investasi yang produktip dalam kurun waktu tertentu sehingga dana tersebut setiap saat akan berkembang terus menerus. Setiap keputusan – keputusan strategis yang akan diambil oleh pengelola diharuskan berkonsultasi sebelumnya dengan masyarakat. Sehingga terjadi transparansi dan akuntabilitas dari setiap keputusan yang diambil. Dan yang tak kalah pentingnya adalah terjadi proses pembelajaran di masyarakat yang akan membuat mereka mempunyai keterikatan emosional dan rasional terhadap lembaga ini.

Sumber Pendanaan
Untuk mengoperasionalkan program ini, tentunya dibutuhkan pendanaan yang mencukupi. Oleh karena itu upaya – upaya pendekatan terhadap seluruh pihak yang peduli terhadap pendidikan anak terus menerus dilakukan dengan menjelaskan kepada mereka baik individu, perusahaan bahkan pemerintah serta lembaga donor international tentang tujuan dari program ini dan memberikan jaminan penggunaan dana dengan tepat. Jaminan tersebut dapat berupa laporan keuangan secara terbuka yang setiap saat dapat di akses.

Sumber – sumber lain dapat diusahakan dari hasil pengembangan usaha – usaha kelompok yang sekian % keuntunganya dialokasikan untuk program ini. Bisa juga ditawarkan kepada perusahaan – perusahaan untuk menjadi donors, baik perusahaan yang berada di Takalar atau di sekitarnya yang mempunyai hubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari – hari maupun perusahaan yang berada di luar yang mana perusahaan tersebut selama ini aktip melakukan kegiatan – kegiatan social sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibilty seperti Coca Cola, Djarun, Indofood dan sebagainya. Atau melalui bantuan pemerintah (pusat/kabupaten) untuk program pengentasan kemiskinan, subsisdi BBM dan lain – lain. Dan juga dengan melakukan promosi kepada individu – individu yang telah mempunyai reputasi di negeri ini. Mereka diajak untuk membangun masyarakatnya melalui program dana pendidikan untuk anak – anak miskin khususnya di Takalar. Akan tetapi akan lebih baik jika masyarakat juga dapat memberikan konstribusinya dalam bentuk iuran, sumbangan suka rela atau tabungan. Untuk menjamin penggunaan dana tepat sasaran, akan dilakukan audit oleh accounting public atau audit langsung oleh masyarakat.              

Badan Pengelola
Badan pengelola terdiri dari 5, 7 orang atau sesuai kebutuhan. Diantara mereka ada yang dipercayakan sebagai ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara serta anggota – anggota. Kepengurusannya dengan sistim periodisasi yang diputuskan dalam anggaran dasar dan anggran rumah tangga. Kriteria badan pengelola akan di konsultasikan dengan masayarakat akan tetapi kriteria umum dapat ditentukan sebelumnya seperti mempunyai track record yang baik di masyarakat, mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap anak – anak dan pendidikan, cakap dalam manajerial dan leadership dan seterusnya. Struktur badan pengelola agar memperhatikan keterwakilan unsure perempuan dan pluralitas. Terbebas dari nepotisme, kolusi dan korupsi serta intervensi dari kepentingan individu dan kelompok tertentu.

Target Group
Target group dari program ini secara umum adalah anak – anak yang berasal dari keluarga miskin (prioritas) agar mereka mendapatkan jaminan untuk tetap sekolah yang secara genetika dan bertempat tinggal di Takalar. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terbuka pemikiran lain misalnya digunakan untuk pengembangan program pendidikan lainnya misalnya subsidi kepada sekolah – sekolah di desa atau ke pendidikan anak usia dini. Batasan mereka mendapatkan bantuan dana pendidikan akan disesuaikan dengan kemampuan lembaga serta memperhatikan aspirasi yang berkembang atau bahkan akan diputuskan dalam musyawarah anggota atau dengan masyarakat.

Diharapkan jika perkembangannya memperlihatkan performa yang baik, tidak menutup kemungkinan dilakukan perluasan cakupan target group misalnya lintas kabupaten atau untuk anak – anak etnik Makassar atau bahkan untuk anak – anak SulSel jika sumber daya telah memungkinkan. Adapun kriteria anak yang layak untuk mendapatkan bea siswa antara lain : (1) berasal dari keluarga miskin tapi mempunyai prestasi tinggi (2) anak yatim dan yatim piatu yang berprestasi (3) genetika Takalar diprioritaskan – dirumuskan kemudian (4) atau mahasiswa (S1, S2, S3) yang melakukan riset khusus tentang pembangunan Takalar atau etnik Makassar (5) dst………

Penutup
Gagasan ini dicoba untuk diwacanakan kepada berbagai pihak, siapa nyana disuatu saat akan ada pihak yang tertarik untuk menjalankannya sehingga akan banyak anak – anak yang tertolong dari ketidakpastian akan masa depan menjadi manusia – manusia yang berguna bagi kelangsungan hidup bangsa ini khususnya anak – anak Makassar. Ini hanyalah sekadar wacana atau ide yang setiap saat terbuka untuk dikritisi dan dikembangkan lebih jauh demi penyempurnaannya.



Ditulis di Rembang – Jawa Tengah, 28 Maret 2006

Syamsu Salewangang Daeng Gajang
Jalan Adipati Honggodjojo No. 26
Rembang - Jateng








 

Minggu, 14 Agustus 2011

Makna kemerdekaan bagi pemuda (i) Takalar

Tidak bisa dipungkiri bahwa bumi Takalar di masa perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, pernah menjadi basis para pejuang kemerdekaan di bawah panji – panji LAPPRIS (Laskar Perjuangan dan Perlawanan Rakyat Indonesia Sulawesi) yang di bawah pimpinan Ranggong Dg. Romo dan beberapa pemuda Takalar ketika itu. Ini adalah bukti bahwa sebenarnya Takalar merupakan asset yang tidak ternilai harganya di pangkuan ibu pertiwi. Tidak banyak kabupaten di Indonesia yang mempunyai pahlawan nasional sebanyak dua orang sekaligus yaitu Ranggong Dg. Romo dan Pajonga Dg. Ngalle Karaeng Polong Bangkeng selain Gowa yang juga mempunyai dua pahlawan nasional yaitu I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dan Syekh Yusuf Al – Makassari Tuanta Salamaka. Meminjam teori kemungkinan (probability), dengan menghitung besarnya jasa – jasa yang telah diberikan kepada republik,  seharusnya Takalar saat ini, sejatinya telah menjadi salah satu kabupaten terkemuka di republik ini. Setidaknya sama terkemukanya dalam hal koleksi pahlawan nasional.

Namun kenyataan berkata lain, kabupaten ini masih terseok di belakang dan bahkan jauh dari pencerminan masa lalunya. Kemiskinan dan pengangguran masih menjadi momok yang selalu menghantui masyarakatnya, bahkan boleh dibilang telah menjadi karib yang selalu melekat dalam keseharian kehidupan masyarakatnya. Padahal jika dilihat potensi yang dimiliki daerah ini, sebenarnya tidaklah kalah dengan daerah – daerah lain. Bahkan cenderung lebih lengkap karena Takalar mempunyai wilayah laut, kepulauan, pantai, pertambakan, lahan persawahan, perkebunan, hutan, pertambangan, sumber daya manusia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah akses ke pusat perdagangan di Indonesia Timur yaitu Kota Makassar begitu dekat. Bahkan dari arah Galesong, Takalar langsung berbatasan dengan Kota makassar. Kesemua potensi yang dimiliki tersebut, jika dikelola dengan baik, maka tentu akan menjadi sumber pendapatan ekonomi yang produktif bagi rakyat Takalar, yang dengan sendirinya dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pahlawan nasional tersebut.

Namun itu semua masih bersifat perumpamaan (misalnya, apa bila, punna, barang dasi na dasi),   karena sampai saat ini kabupaten ini masih belum menorehkan kembali prestasi yang mencengangkan untuk kemajuan bangsa, sebagaimana telah dicapai oleh para pahlawan nasional tersebut.  Oleh karena itu, melalui refleksi kemerdekaan ini, marilah para pemuda Takalar dimanapun anda berada, buanglah rasa gengsi dan malas yang selalu menjadi penghalang besar untuk kalian menjadi maju. Saat ini kita punya musuh bersama yaitu ’kemiskinan dan pengangguran’. Kemiskinan dan pengangguran hanya bisa dilawan dengan sebuah tekad kerja keras dengan penuh kesungguhan (Tinuluppaki akkareso nakigappa minasanta). Tak peduli apapun profesi dan latar belakang anda semua.

Malu kita kepada para pejuang kemerdekaan itu, jika hanya melawan kemiskinan dan pengangguran saja kita tidak berdaya. Dan malu pula kita kepada generasi yang akan datang, sebab mereka akan mengatakan kepada kita semua bahwa melawan kemiskinan dan pengangguran saja tidak mampu, apalagi melawan penjajah yang harus mengorbankan jiwa dan raga. Padahal di dalam darah dan jiwa kita semua ini mengalir darah pahlawan, yang rela mengorbankan apapun yang dimiliki demi tercapainya suatu cita – cita mulia, demi tercapainya suatu kemerdekaan dan kebebasan dari kemiskinan dan keterbelakangan. 

Oleh karena itu, jika tidak ingin malu kepada generasi pendahulu dan generasi yang akan datang, maka saatnyalah untuk membuktikan kepada mereka. Bahwa kita bisa melawan kemiskinan dan pengangguran itu, demi memerdekakan rakyat Takalar secara hakiki. Jika ini dapat diwujudkan, maka tidak akan lama lagi, akan muncul pahlawan – pahlawan pengentasan kemiskinan dan pengangguran dari bumi Takalar. Bukti bahwa Takalar memang tempatnya para pahlawan dilahirkan. Why not?????????????????             


Kupang, 17 Agustus 2009

Daeng Gajang

Kamis, 14 Juli 2011

Mencari ide gila dari Takalar untuk masa depan Makassar sebagai kultur

(Sebuah renungan perjalanan sejarah Takalar untuk Sulawesi Selatan dan Indonesia)

”Tulisan ini adalah sebuah peneropongan terhadap sejarah yang terputus atas eksistensi orang – orang Makassar dalam memberikan kontribusi terhadap pembanguan daerah dan pembangunan bangsa dan negaranya ’Indonesia’. Mudah – mudahan bisa menjadi inspirasi bagi anak – anak muda Makassar (Takalar) untuk bergerak maju ke depan demi meraih kesejahteraan bersama bagi generasi mendatang”.
   
Suatu ketika saya dan beberapa teman dari Sulawesi Selatan menghadiri suatu loka karya di salah satu kota di Jawa. Seperti biasa pada setiap memulai kegiatan tentunya diawali dengan perkenalan para peserta. Pada sesi perkenalan tersebut, ada hal yang sedikit menggelitik sekaligus mengundang tanya dalam hati kecil saya yaitu ketika saya ditanya oleh teman – teman peserta yang lain mengenai asal daerah. Ketika saya mengatakan bahwa saya adalah Orang Makassar yang berasal dari Takalar, ternyata teman – teman memaknainya lain bahwa yang dimaksud dengan Orang Makassar itu adalah orang yang tinggal di Kota Makassar. Mereka beranggapan bahwa di Sulawesi Selatan itu hanya ada Suku Bugis dan Suku Toraja. Sedangkan masyarakat yang mendiami kawasan Kota Makassar dan sekitarnya adalah Suku Bugis Makassar. Yang ada adalah orang Makassar sebagai kota asal bukan orang Makassar sebagai suku (kultur).

Belajar dari pengalaman  tersebut di atas, semakin banyaklah daftar pertanyaan yang muncul kemudian. Pertanyaan – pertanyaan itu antara lain : Bagaimana awalnya Suku Makassar itu muncul? Siapa tokoh – tokoh yang pertama kali hidup pada masa – masa awal terbentuknya komunitas Suku Makassar? Bagaimana kebudayaan, adat istiadat dan system nilai yang dianut dikembangkan? Bagaimana struktur bahasa, langgem, dialek dan kearifan – kearifan berkembang? Bagaimana mengekspose eksistensi Makassar sebagai sebuah suku (cultural) bangsa selama ini? Mengapa Makassar sebagai suku bangsa identik dengan perangai keras? Mengapa Suku Makassar sekarang identik dengan Suku Bugis Makassar? Dan masih banyak lagi …………………… Sebenarnya pertanyaan – pertanyaan tersebut muncul dikarenakan oleh salah satunya adalah adanya kerinduan akan eksistensi kolektip dari Makassar sebagai salah satu suku bangsa yang menyokong dan sekaligus sebagai akar dari peradaban bangsa dewasa ini dan di masa depan yang bernama Tatanan Indonesia Baru. Dan juga adanya keprihatinan terhadap kelangsungan kehidupan Makassar sebagai sebuah komunitas di masa depan. Mungkin kalau tidak ada kesadaran kritis secara kolektip dari generasi sekarang, maka fenomena yang saya sebutkan di atas, akan menjadi pengiring berakhirnya sebuah episode peradaban (kehidupan) dari sebuah suku bangsa yang bernama Suku Makassar.

 Dengan demikian Makasar di masa depan hanya akan dikenal sebagai sebuah wilayah territorial (Kota Makassar), bukan pada wujud sebuah komunitas peradaban (suku). Makassar sebagai sebuah peradaban (cultural) hanya akan ditemui dalam bentuk manuskrip dan mungkin biorama ataupun situs - situs. Manuskrip itu bisa berupa huruf – huruf lontara’, kumpulan kata – kata berbahasa Makassar yang hanya akan menjadi pekerjaan para ilmuwan untuk obyek penelitian mereka yang hasilnya kemudian dipresentasikan kepada cucu – cucu kita yang nenek moyangnya adalah Orang Makassar (suku). Demikianlah sekelumit, permenungan subyektipitas saya sebagai orang yang selalu terganggu dengan misteri pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya coba kita bumikan kekhawatiran –kekhawatiran tersebut dalam konteks kekinian dan masa depan untuk membangkitkan kembali spirit perjuangan dalam penyiapan sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadi penopang tatanan dunia baru di abad modern ini yang tentunya tidak lupa belajar dari pengalaman di masa lalu.

Adapun rekaman perjalanan sejarah kehidupan orang – orang Makassar khusunya yang berasal dari Takalar secara subyektip dapat disimak sebagai berikut. Tidak banyak kejadian istimewa yang diukir oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Takalar dalam kurung waktu 50 - 60 tahun terakhir. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa rentang waktu sebelumnya yakni tahun 1940an, Takalar dikenal sebagai basis perjuangan rakyat Sulawesi melawan penjajah Belanda yang dipimpin oleh putera – putera Takalar antara lain Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Manjarungi, Pajonga Daeng Ngalle, Makkatang Daeng Sibali, Mappa Daeng Temba dan tokoh – tokoh dari Galesong yang pernah meraih puncak prestasi pada generasi berikutnya di masa lalu, sebut saja Hamzah Tuppu, H. A. Ajaib Daeng Sibali dan lain – lain. Bahkan seorang pejuang bangsa sekaliber Wolter Monginsidi dan Emmy Saelan pun masih dibawah komando dari putera – putera Takalar tersebut di atas.

Namun sangat disayangkan, perjuangan yang telah dirintis oleh beliau – beliau itu tidak tersemaikan dengan baik oleh generasi Takalar berikutnya sehingga proses kaderisasi dapat dikatakan mandek atau jalan ditempat dan bahkan terputus sama sekali. Ironisnya lagi karena tidak satupun dari para pemimpin Takalar pada waktu itu baik pemimpin formal (pemerintahan) maupun pemimpin non formal (tokoh masyarakat) yang berpikiran bagaimana menyiapkan generasi Takalar di masa depan secara berkesinambungan sehingga akibatnya adalah kita sangat kesulitan menemukan tokoh – tokoh bangsa (figur pemimpin dan negarawan) yang berkiprah baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional dewasa ini.

Padahal di zaman itu bisa saja para pemuka masyarakat tersebut dengan mudah mengirim putera – puteri mereka menuntut ilmu dan melanjutkan pendidikan di kota – kota besar di Indonesia misalnya Jakarta, Yogyakarta, Bandung atau minimal Makassar. Ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan dan bangsawan serta para pedagang kaya di daerah lain misalnya di Bone, Soppeng, Wajo dan daerah – daerah lain di Sulawesi Selatan. Mereka seolah – olah berlomba – lomba atau bahkan bersaing (prestise) mengirim putera – puteri mereka menuntut pendidikan setinggi – tingginya di kota –kota utama pendidikan di Indonesia. Pilihan mengirim putera – puteri mereka menuntut ilmu di kota – kota besar tersebut kemudian akhirnya  merubah perjalanan sejarah Sulawesi Selatan pada kurung waktu 50 tahun terakhir.

Padahal kita semua tahu bahwa masa – masa sebelum itu, perjalanan sejarah Sulawesi Selatan baik dari segi keintelektualan maupun dari segi kepemimpinan perjuangan melawan penjajah, orang – orang Makassar termasuk Takalar sangat memegang peranan penting. Resiko dari pilihan tidak menyiapkan generasi penerus tersebut, hari ini harus dirasakan dan kalau boleh dikatakan dibayar mahal oleh generasi sekarang, dimana kita semua harus rela dan memang itulah pilihan terbaik untuk menjadi penonton di kampung halaman sendiri. Bagaimana kita orang Makassar (Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, sebagian Bulukumba) menjadi penonton di Kota Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Bahkan Suku Makassar ini termasuk salah satu suku yang termasuk kategori termiskin di negeri ini atau tingkat kesejahteraanya termasuk rendah dibandingkan dengan suku – suku lain seperti Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Minang, Betawi, Bali, Madura, Aceh, Melayu dan Banjar 

Pertanyaan – pertanyaan berikut dapat menjadi hipotesa sejauh mana sebenarnya keterpurukan itu telah terjadi. Sebut saja misalnya berapa orang Takalar yang menjadi guru besar atau S3. Katanya sih kalau S2 banyak, bahkan S3 pun ada  yaitu dari kalangan pejabat pemerintah kabupaten (birokrat), tapi jangan ditanyakan bagaimana kualitas dan cara memperolehnya.  Berapa banyak tentara atau polisi yang mencapai pangkat jenderal (bintang 1 sampai 4) atau paling tidak kolonel? Paling – paling hanya Kopjend dan sersan mannyere’ (ha, ha, ha…), kalaupun ada yang  bernasib baik satu dua orang yaa akhirnya mentok di pamen (letkol kebawah). Berapa yang menjadi pemimpin birokrat di departemen? Misalnya yang duduk di eselon I dan II?. Rasa – rasanya sampai dengan hari ini tak satupun putera Takalar yang sampai di posisi ini apalagi menteri. Berapa banyak yang menduduki posisi strategis di birokrasi pemerintahan propinsi? Jawabannya adalah adakah Putera Takalar yang berkarir dengan gemilang di Pemprop? Berapa banyak  seniman atau budayawan yang berkarya untuk kebesaran kebudayaannya? Jawabnya adalah adakah Putera Takalar yang berkesenian  dan budayawan? Berapa banyak intelektual yang punya karya tulis yang berasal dari Takalar? Jawabnya adalah adakah Putera Takalar yang berprofesi sebagai penulis? Ataukah berapa banyak orang Takalar yang berkiprah di dunia professional lainnya seperti pengacara, konsultan teknik, arsitek, dokter atau pebisnis? Jawabnya adalah sulit juga menemukannya.

 Pertanyaan – pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menggugat para pemimpin Takalar di masa lalu, akan tetapi hanya menyayangkan mengapa kegemilangan yang telah ditorehkan dengan tinta emas dalam lembaran sejarah negeri ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya? Sebab orang Takalar waktu itu  tentu punya catatan sejarah tersendiri yang positip yang bisa menjadi kredit point yang mendukung mereka memasuki lembaga – lembaga pendidikan tinggi ternama saat itu misalnya lembaga pendidikan tentara atau polisi dan umum seperti ITB, UGM dan lain – lain karena tidak diragukan lagi jiwa patriotismenya terhadap bangsa dan negara ini.

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin tenggelamlah nama Takalar dalam percaturan kehidupan masyarakat khususnya di Sulawesi Selatan, baik dari aspek social, budaya, ekonomi maupun politik. Berangkat dari kenyataan inilah, maka timbullah sebuah pemikiran/gagasan yang bertujuan untuk menciptakan blue print/grand scenario tentang penyiapan generasi muda Takalar yang akan mengharumkan kembali nama Takalar dalam percaturan kehidupan di negeri ini dalam segala bidang pembangunan yang meliputi social, budaya, ekonomi dan politik. Inilah yang kemudian saya harapkan menjadi wacana dan diskusi produktip yang akhirnya menjadi karya nyata kita selaku anak bangsa yang kebetulan dilahirkan dan dibesarkan di Takalar dalam membangun bangsa dan negara. Dus… waktu berjalan terus mengiringi berputarnya roda kehidupan ini. Jika bukan kita lalu siapa lagi, dan jika bukan sekarang lalu kapan lagi. Jangan sampai kita semua yang hidup sekarang ini, akan mendapat sumpah serapah dari generasi yang akan datang.

Saatnya mengkaji ulang filosophi hidup yang dipegang oleh masyarakat Takalar (Makassar) yang malah memberikan stigma negative terhadap pengembangan potensi sumber daya manusia Takalar misalnya ‘ejatompiseng nadoang’, kalau prinsip ini tidak direvitalisasi kehal – hal yang positip maka orang Takalar akan sungguh – sungguh menjadi doang, bukankah  doang itu tidak punya otak??  Kualleangngangi tallanga natoaliya, sebaiknya diarahkan kepada suatu nilai bahwa dalam melakukan sebuah pekerjaan haruslah dipersiapkan/direncanakan dengan baik dan atas perhitungan yang matang sebab zaman sekarang semuanya haruslah dengan rencana yang matang. Kualleangngangi mate ceraka namate cipuruka, dijadikan sebagai motivasi untuk bekerja keras dalam memerangi kemiskinan,  dan masih banyak lagi filosophi – filosophi hidup yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang seyogyanya disesuaikan dengan tuntutan zaman yang serba edan ini.

Saudarakau semua …… marilah kita secara bijak dengan pikiran yang jernih mencoba memetakan situasi yang terjadi sekarang pada segala aspek kehidupan. Jawabanya ada di benak kita masing – masing and the next step battu ri kattengaseng. Tulisan ini kedengarannya agak propokatip karena menggugah hal – hal yang boleh jadi sensitip. Tapi seperti orang di Kota Makassar sering bilang, maumi diapa namemang begitu tawwa keadaanta sekarang. Disaat orang Makassar dengan gagah berani memukul dadanya sambil berujar “anne riolo”, orang lain terdiam dengan logika sehat sambil menyusun rencana gemilang dan taktis yang berbuah kepada keberhasilan memenangkan hegemoni masa depan pada semua lini kehidupan seperti intelektual, ekonomi, social, budaya, birokrasi pemerintahan dan lain – lain.

Celakanya, diamnya orang lain itu diterjemahkan bahwa dia takut dan tidak berani berhadapan dengan saya sebagai orang Makassar karena orang Makassar dikenal sebagai pemberani dan pantang mundur jika sudah terlanjur napaenteng tanrasulana sekalipun nyawa taruhannya. Contoh lain, beberapa teman saya di Jakarta pernah berujar, jika anda ingin selamat dan aman berjalan – jalan di Jakarta maka sebisa mungkin tampilkanlah symbol yang bisa menunjukkan bahwa anda adalah orang Makassar misalnya dengan menggunakan baju atau apapun yang bertuliskan Makassar, logat distel kayak Makassar atau bahkan ucapkanlah kata – kata singkat dalam bahasa Makassar. Pastimaki aman itu berjalan – jalan di pusat – pusat keramaian di Jakarta………

Saya teringat pesan dari seorang teman, beliau bilang begini, anda dan siapapun tidak akan mampu memusnahkan perjalanan kehidupan dari sebuah suku bangsa jika anda melakukannya dengan kekerasan (pembunuhan massal) terkecuali jika anda melakukannya dengan menjauhkan mereka dari kebudayaannya. Lalu beliau memberikan contoh bagaimana suku bangsa Aborigin di Australia sana tetap dapat survive ditengah hegemoni bangsa kulit putih. Dan masih banyak lagi contoh – contoh lain dari belahan dunia ini. Pesan ini sangat cocok dengan situasinya dengan Suku Makassar dimana eksistensinya secara lambat namun pasti akan mengalami kemunduran dan akhirnya punah ditelan zaman karena akibat dari ulah orang – orang Makassar sendiri yang sudah memisahkan dirinya dari akarnya sendiri yaitu pekerja keras, pemberani, pantang menyerah, solidaritas dan kepekaan social yang tinggi dan lain – lain.

Sekarang kita selaku generasi Takalar yang kebetulan ditakdirkan oleh Allah SWT hidup di zaman ini berada di persimpangan jalan. Apakah mau bangkit untuk kemaslahatan bersama atau kita masa bodoh saja dengan keadaan yang sudah seperti ini. Tiada daya dan upayaku ya Allah, hanyalah  kepada-MU kami menggantungkan pengharapanku. Yang pasti jika kita bekerja keras untuk membesarkan dan memajukan Takalar berarti pulalah bahwa kita telah menorehkan karya besar terhadap kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai ini (Indonesia Raya).         



Ditulis di Rembang – Jawa Tengah
17 Mei 2006



Daeng Gajang

Rabu, 22 Juni 2011

Ruyati VS Arab Saudi

Sabtu 18 Juni 2011 kita digemparkan sebuah berita bahwa seorang TKW yang bernama Ruyati (54 tahun) telah dieksekusi hukuman mati dengan cara pancung (penggal kepala) di Mekah - Arab Saudi. Menurut berita yang beredar, Ruyati dijatuhi hukuman mati karena dia telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya pada Januari 2010 lalu. Yang membuat berita ini begitu gempar dan heboh seantero negeri, sebenarnya bukan karena hukuman matinya, toh hukuman mati dalam perkara - perkara berat seperti narkoba, teroris dan pembunuhan adalah sesuatu yang lumrah kita dengar dan bahkan kita sendiri tidak asing dengan hukuman mati semacam ini. Bahkan di Indonesia sendiri ada ratusan terdakwa hukuman mati di berbagai LP dan RUTAN yang sedang menunggu proses pelaksanaan eksekusinya.

Yang membuat kita semua menjadi tersentak dan terkejut, bahkan cenderung MARAH karena Ruyati mengahadapi proses pengadilan di Arab Saudi sana seorang diri, tanpa ada satu pihakpun yang memantau, apalagi memberikan pendampingan hukum pada proses peradilan tersebut. Pihak - pihak yang seharusnya mendampingi dan membantu agar proses peradilan dapat berjalan secara fair dan obyektip, luput dan abai semua. Mereka beralasan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak memberitahukan kepada mereka. Wow, alangkah celakanya negeri ini, karena dikendalikan oleh aparat - aparat yang buta, tuli dan tidak peduli. Lhoo,,,kenapa anda semua tidak pro active bertanya, mencari informasi dengan menggunakan fasilitas negara sebagai perwakilan negara. Bukankah anda semua mempunyai akses yang sangat luas dengan fasilitas diplomatik?????????

Bahkan belakangan ketahuan bahwa mereka pihak - pihak terkait mulai dari Kemenakertrans, Kemenlu, Kemenhukham dan BNP2TKI malah sibuk mencari kambing hitam, seolah - olah apa yang terjadi terhadap diri Ruyati di Arab Saudi seperti itulah adanya dan kita sama sekali tidak bisa mengintervensi proses peradilan di sana. Pada bagian ini, mereka memang betul 100% bahwa sistem hukum satu negara tidak dapat diintervensi oleh negara manapun. Namun sekali lagi,,,,,,,inti masalahnya adalah ketiadaan pendampingan dan ketidaktahuan pihak - pihak yang seharusnya tahu.

Dapat dibayangkan, bagaimana proses pengadilan itu berjalan, antara Ruyati VS Arab Saudi (negara). Pastilah terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan karena Ruyati seorang diri berhadapan dengan otoritas hukum Arab Saudi. Ibarat pertandingan sepak bola, ini bagaikan pertarungan antara klub divisi III di tanah air semisal GASTA (Gabungan Sepak Bola Takalar) melawan Barcelone FC. Dapat dibayangkan betapa tidak seimbangnya pertarungan ini di lapangan hijau. Pastilah Barcelona FC akan berpesta gol sampai score yang tidak bisa dihitung dengan jari.

Terlepas dari kelalaian dan ketiadaan negara dalam melindungi warganya (Ruyati), ada setitik kebanggaan yang patut diteladani dari diri Ruyati yaitu kekuatan dan ketabahan hati yang dimilikinya dalam melawan otoritas hukum Arab Saudi (negara). Artinya Ruyati bahkan telah menggantikan peran negara terhadap dirinya dalam proses peradilan tersebut. Maka sepantasnyalah kalangan masyarakat sipil sangat kecewa dan MARAH kepada para penyelenggara negara yang bertanggungjawab terhadap masalah ini. Yang diharapkan dari para penyelenggara negara (Kemenakertrans, Kemenlu, Kemenhukham dan BNP2TKI) sebenarnya bukan bagaimana mengintervensi proses hukum, karena anak TK saja tau bahwa aturan yang diberlakukan di tetangga sebelah, tidak dapat diintervensi oleh ayah ibu mereka sebagai tetangga, namun adalah upaya - upaya pendampingan dan pembelaan yang maksimal, agar terjadi proses (pertarungan) hukum yang seimbang. Bahwa toh nanti vonisnya adalah hukuman mati, artinya Ruyati dan warga negara lainnya akan menjadi sangat bangga dan sangat terhormat karena negara telah mempertaruhkan segala kemampuan yang dimilikinya.

Karena itu, sudah saatnya para pejabat di Kemenakertrans, Kemenlu, Kemenhukham dan BNP2TKI melakukan pembenahan menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan ketenagakerjaan khususnya di luar negeri. Serta sebagai individu mereka juga seyogyanyalah bertaubat dan bersumpah untuk tidak akan lalai lagi di masa - masa yang akan datang. Anggaplah bahwa para TKI/TKW yang beresiko tinggi berperkara dengan hukum di luar negeri itu adalah saudara(i) anda, adalah ibu anda, adalah tante anda, adalah kerabat anda atau bahkan adalah anak anda sendiri.

Selamat jalan Ibu Ruyati, Allah SWT adalah tempat bersarangnya kebenaran yang hakiki. Pengadilan Allah jualah yang akan mengadili ibu dengan seadil - adilnya. Semoga Allah SWT menerima amal ibadahnya dan keluarga yang ditinggalkan dapat diberikan ketabahan.


Nagekeo, 22 Juni 2011

Daeng Gajang