Kamis, 14 Juli 2011

Mencari ide gila dari Takalar untuk masa depan Makassar sebagai kultur

(Sebuah renungan perjalanan sejarah Takalar untuk Sulawesi Selatan dan Indonesia)

”Tulisan ini adalah sebuah peneropongan terhadap sejarah yang terputus atas eksistensi orang – orang Makassar dalam memberikan kontribusi terhadap pembanguan daerah dan pembangunan bangsa dan negaranya ’Indonesia’. Mudah – mudahan bisa menjadi inspirasi bagi anak – anak muda Makassar (Takalar) untuk bergerak maju ke depan demi meraih kesejahteraan bersama bagi generasi mendatang”.
   
Suatu ketika saya dan beberapa teman dari Sulawesi Selatan menghadiri suatu loka karya di salah satu kota di Jawa. Seperti biasa pada setiap memulai kegiatan tentunya diawali dengan perkenalan para peserta. Pada sesi perkenalan tersebut, ada hal yang sedikit menggelitik sekaligus mengundang tanya dalam hati kecil saya yaitu ketika saya ditanya oleh teman – teman peserta yang lain mengenai asal daerah. Ketika saya mengatakan bahwa saya adalah Orang Makassar yang berasal dari Takalar, ternyata teman – teman memaknainya lain bahwa yang dimaksud dengan Orang Makassar itu adalah orang yang tinggal di Kota Makassar. Mereka beranggapan bahwa di Sulawesi Selatan itu hanya ada Suku Bugis dan Suku Toraja. Sedangkan masyarakat yang mendiami kawasan Kota Makassar dan sekitarnya adalah Suku Bugis Makassar. Yang ada adalah orang Makassar sebagai kota asal bukan orang Makassar sebagai suku (kultur).

Belajar dari pengalaman  tersebut di atas, semakin banyaklah daftar pertanyaan yang muncul kemudian. Pertanyaan – pertanyaan itu antara lain : Bagaimana awalnya Suku Makassar itu muncul? Siapa tokoh – tokoh yang pertama kali hidup pada masa – masa awal terbentuknya komunitas Suku Makassar? Bagaimana kebudayaan, adat istiadat dan system nilai yang dianut dikembangkan? Bagaimana struktur bahasa, langgem, dialek dan kearifan – kearifan berkembang? Bagaimana mengekspose eksistensi Makassar sebagai sebuah suku (cultural) bangsa selama ini? Mengapa Makassar sebagai suku bangsa identik dengan perangai keras? Mengapa Suku Makassar sekarang identik dengan Suku Bugis Makassar? Dan masih banyak lagi …………………… Sebenarnya pertanyaan – pertanyaan tersebut muncul dikarenakan oleh salah satunya adalah adanya kerinduan akan eksistensi kolektip dari Makassar sebagai salah satu suku bangsa yang menyokong dan sekaligus sebagai akar dari peradaban bangsa dewasa ini dan di masa depan yang bernama Tatanan Indonesia Baru. Dan juga adanya keprihatinan terhadap kelangsungan kehidupan Makassar sebagai sebuah komunitas di masa depan. Mungkin kalau tidak ada kesadaran kritis secara kolektip dari generasi sekarang, maka fenomena yang saya sebutkan di atas, akan menjadi pengiring berakhirnya sebuah episode peradaban (kehidupan) dari sebuah suku bangsa yang bernama Suku Makassar.

 Dengan demikian Makasar di masa depan hanya akan dikenal sebagai sebuah wilayah territorial (Kota Makassar), bukan pada wujud sebuah komunitas peradaban (suku). Makassar sebagai sebuah peradaban (cultural) hanya akan ditemui dalam bentuk manuskrip dan mungkin biorama ataupun situs - situs. Manuskrip itu bisa berupa huruf – huruf lontara’, kumpulan kata – kata berbahasa Makassar yang hanya akan menjadi pekerjaan para ilmuwan untuk obyek penelitian mereka yang hasilnya kemudian dipresentasikan kepada cucu – cucu kita yang nenek moyangnya adalah Orang Makassar (suku). Demikianlah sekelumit, permenungan subyektipitas saya sebagai orang yang selalu terganggu dengan misteri pertanyaan – pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya coba kita bumikan kekhawatiran –kekhawatiran tersebut dalam konteks kekinian dan masa depan untuk membangkitkan kembali spirit perjuangan dalam penyiapan sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadi penopang tatanan dunia baru di abad modern ini yang tentunya tidak lupa belajar dari pengalaman di masa lalu.

Adapun rekaman perjalanan sejarah kehidupan orang – orang Makassar khusunya yang berasal dari Takalar secara subyektip dapat disimak sebagai berikut. Tidak banyak kejadian istimewa yang diukir oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Takalar dalam kurung waktu 50 - 60 tahun terakhir. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa rentang waktu sebelumnya yakni tahun 1940an, Takalar dikenal sebagai basis perjuangan rakyat Sulawesi melawan penjajah Belanda yang dipimpin oleh putera – putera Takalar antara lain Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Manjarungi, Pajonga Daeng Ngalle, Makkatang Daeng Sibali, Mappa Daeng Temba dan tokoh – tokoh dari Galesong yang pernah meraih puncak prestasi pada generasi berikutnya di masa lalu, sebut saja Hamzah Tuppu, H. A. Ajaib Daeng Sibali dan lain – lain. Bahkan seorang pejuang bangsa sekaliber Wolter Monginsidi dan Emmy Saelan pun masih dibawah komando dari putera – putera Takalar tersebut di atas.

Namun sangat disayangkan, perjuangan yang telah dirintis oleh beliau – beliau itu tidak tersemaikan dengan baik oleh generasi Takalar berikutnya sehingga proses kaderisasi dapat dikatakan mandek atau jalan ditempat dan bahkan terputus sama sekali. Ironisnya lagi karena tidak satupun dari para pemimpin Takalar pada waktu itu baik pemimpin formal (pemerintahan) maupun pemimpin non formal (tokoh masyarakat) yang berpikiran bagaimana menyiapkan generasi Takalar di masa depan secara berkesinambungan sehingga akibatnya adalah kita sangat kesulitan menemukan tokoh – tokoh bangsa (figur pemimpin dan negarawan) yang berkiprah baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional dewasa ini.

Padahal di zaman itu bisa saja para pemuka masyarakat tersebut dengan mudah mengirim putera – puteri mereka menuntut ilmu dan melanjutkan pendidikan di kota – kota besar di Indonesia misalnya Jakarta, Yogyakarta, Bandung atau minimal Makassar. Ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin pemerintahan dan bangsawan serta para pedagang kaya di daerah lain misalnya di Bone, Soppeng, Wajo dan daerah – daerah lain di Sulawesi Selatan. Mereka seolah – olah berlomba – lomba atau bahkan bersaing (prestise) mengirim putera – puteri mereka menuntut pendidikan setinggi – tingginya di kota –kota utama pendidikan di Indonesia. Pilihan mengirim putera – puteri mereka menuntut ilmu di kota – kota besar tersebut kemudian akhirnya  merubah perjalanan sejarah Sulawesi Selatan pada kurung waktu 50 tahun terakhir.

Padahal kita semua tahu bahwa masa – masa sebelum itu, perjalanan sejarah Sulawesi Selatan baik dari segi keintelektualan maupun dari segi kepemimpinan perjuangan melawan penjajah, orang – orang Makassar termasuk Takalar sangat memegang peranan penting. Resiko dari pilihan tidak menyiapkan generasi penerus tersebut, hari ini harus dirasakan dan kalau boleh dikatakan dibayar mahal oleh generasi sekarang, dimana kita semua harus rela dan memang itulah pilihan terbaik untuk menjadi penonton di kampung halaman sendiri. Bagaimana kita orang Makassar (Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, sebagian Bulukumba) menjadi penonton di Kota Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Bahkan Suku Makassar ini termasuk salah satu suku yang termasuk kategori termiskin di negeri ini atau tingkat kesejahteraanya termasuk rendah dibandingkan dengan suku – suku lain seperti Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Minang, Betawi, Bali, Madura, Aceh, Melayu dan Banjar 

Pertanyaan – pertanyaan berikut dapat menjadi hipotesa sejauh mana sebenarnya keterpurukan itu telah terjadi. Sebut saja misalnya berapa orang Takalar yang menjadi guru besar atau S3. Katanya sih kalau S2 banyak, bahkan S3 pun ada  yaitu dari kalangan pejabat pemerintah kabupaten (birokrat), tapi jangan ditanyakan bagaimana kualitas dan cara memperolehnya.  Berapa banyak tentara atau polisi yang mencapai pangkat jenderal (bintang 1 sampai 4) atau paling tidak kolonel? Paling – paling hanya Kopjend dan sersan mannyere’ (ha, ha, ha…), kalaupun ada yang  bernasib baik satu dua orang yaa akhirnya mentok di pamen (letkol kebawah). Berapa yang menjadi pemimpin birokrat di departemen? Misalnya yang duduk di eselon I dan II?. Rasa – rasanya sampai dengan hari ini tak satupun putera Takalar yang sampai di posisi ini apalagi menteri. Berapa banyak yang menduduki posisi strategis di birokrasi pemerintahan propinsi? Jawabannya adalah adakah Putera Takalar yang berkarir dengan gemilang di Pemprop? Berapa banyak  seniman atau budayawan yang berkarya untuk kebesaran kebudayaannya? Jawabnya adalah adakah Putera Takalar yang berkesenian  dan budayawan? Berapa banyak intelektual yang punya karya tulis yang berasal dari Takalar? Jawabnya adalah adakah Putera Takalar yang berprofesi sebagai penulis? Ataukah berapa banyak orang Takalar yang berkiprah di dunia professional lainnya seperti pengacara, konsultan teknik, arsitek, dokter atau pebisnis? Jawabnya adalah sulit juga menemukannya.

 Pertanyaan – pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menggugat para pemimpin Takalar di masa lalu, akan tetapi hanya menyayangkan mengapa kegemilangan yang telah ditorehkan dengan tinta emas dalam lembaran sejarah negeri ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya? Sebab orang Takalar waktu itu  tentu punya catatan sejarah tersendiri yang positip yang bisa menjadi kredit point yang mendukung mereka memasuki lembaga – lembaga pendidikan tinggi ternama saat itu misalnya lembaga pendidikan tentara atau polisi dan umum seperti ITB, UGM dan lain – lain karena tidak diragukan lagi jiwa patriotismenya terhadap bangsa dan negara ini.

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin tenggelamlah nama Takalar dalam percaturan kehidupan masyarakat khususnya di Sulawesi Selatan, baik dari aspek social, budaya, ekonomi maupun politik. Berangkat dari kenyataan inilah, maka timbullah sebuah pemikiran/gagasan yang bertujuan untuk menciptakan blue print/grand scenario tentang penyiapan generasi muda Takalar yang akan mengharumkan kembali nama Takalar dalam percaturan kehidupan di negeri ini dalam segala bidang pembangunan yang meliputi social, budaya, ekonomi dan politik. Inilah yang kemudian saya harapkan menjadi wacana dan diskusi produktip yang akhirnya menjadi karya nyata kita selaku anak bangsa yang kebetulan dilahirkan dan dibesarkan di Takalar dalam membangun bangsa dan negara. Dus… waktu berjalan terus mengiringi berputarnya roda kehidupan ini. Jika bukan kita lalu siapa lagi, dan jika bukan sekarang lalu kapan lagi. Jangan sampai kita semua yang hidup sekarang ini, akan mendapat sumpah serapah dari generasi yang akan datang.

Saatnya mengkaji ulang filosophi hidup yang dipegang oleh masyarakat Takalar (Makassar) yang malah memberikan stigma negative terhadap pengembangan potensi sumber daya manusia Takalar misalnya ‘ejatompiseng nadoang’, kalau prinsip ini tidak direvitalisasi kehal – hal yang positip maka orang Takalar akan sungguh – sungguh menjadi doang, bukankah  doang itu tidak punya otak??  Kualleangngangi tallanga natoaliya, sebaiknya diarahkan kepada suatu nilai bahwa dalam melakukan sebuah pekerjaan haruslah dipersiapkan/direncanakan dengan baik dan atas perhitungan yang matang sebab zaman sekarang semuanya haruslah dengan rencana yang matang. Kualleangngangi mate ceraka namate cipuruka, dijadikan sebagai motivasi untuk bekerja keras dalam memerangi kemiskinan,  dan masih banyak lagi filosophi – filosophi hidup yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang seyogyanya disesuaikan dengan tuntutan zaman yang serba edan ini.

Saudarakau semua …… marilah kita secara bijak dengan pikiran yang jernih mencoba memetakan situasi yang terjadi sekarang pada segala aspek kehidupan. Jawabanya ada di benak kita masing – masing and the next step battu ri kattengaseng. Tulisan ini kedengarannya agak propokatip karena menggugah hal – hal yang boleh jadi sensitip. Tapi seperti orang di Kota Makassar sering bilang, maumi diapa namemang begitu tawwa keadaanta sekarang. Disaat orang Makassar dengan gagah berani memukul dadanya sambil berujar “anne riolo”, orang lain terdiam dengan logika sehat sambil menyusun rencana gemilang dan taktis yang berbuah kepada keberhasilan memenangkan hegemoni masa depan pada semua lini kehidupan seperti intelektual, ekonomi, social, budaya, birokrasi pemerintahan dan lain – lain.

Celakanya, diamnya orang lain itu diterjemahkan bahwa dia takut dan tidak berani berhadapan dengan saya sebagai orang Makassar karena orang Makassar dikenal sebagai pemberani dan pantang mundur jika sudah terlanjur napaenteng tanrasulana sekalipun nyawa taruhannya. Contoh lain, beberapa teman saya di Jakarta pernah berujar, jika anda ingin selamat dan aman berjalan – jalan di Jakarta maka sebisa mungkin tampilkanlah symbol yang bisa menunjukkan bahwa anda adalah orang Makassar misalnya dengan menggunakan baju atau apapun yang bertuliskan Makassar, logat distel kayak Makassar atau bahkan ucapkanlah kata – kata singkat dalam bahasa Makassar. Pastimaki aman itu berjalan – jalan di pusat – pusat keramaian di Jakarta………

Saya teringat pesan dari seorang teman, beliau bilang begini, anda dan siapapun tidak akan mampu memusnahkan perjalanan kehidupan dari sebuah suku bangsa jika anda melakukannya dengan kekerasan (pembunuhan massal) terkecuali jika anda melakukannya dengan menjauhkan mereka dari kebudayaannya. Lalu beliau memberikan contoh bagaimana suku bangsa Aborigin di Australia sana tetap dapat survive ditengah hegemoni bangsa kulit putih. Dan masih banyak lagi contoh – contoh lain dari belahan dunia ini. Pesan ini sangat cocok dengan situasinya dengan Suku Makassar dimana eksistensinya secara lambat namun pasti akan mengalami kemunduran dan akhirnya punah ditelan zaman karena akibat dari ulah orang – orang Makassar sendiri yang sudah memisahkan dirinya dari akarnya sendiri yaitu pekerja keras, pemberani, pantang menyerah, solidaritas dan kepekaan social yang tinggi dan lain – lain.

Sekarang kita selaku generasi Takalar yang kebetulan ditakdirkan oleh Allah SWT hidup di zaman ini berada di persimpangan jalan. Apakah mau bangkit untuk kemaslahatan bersama atau kita masa bodoh saja dengan keadaan yang sudah seperti ini. Tiada daya dan upayaku ya Allah, hanyalah  kepada-MU kami menggantungkan pengharapanku. Yang pasti jika kita bekerja keras untuk membesarkan dan memajukan Takalar berarti pulalah bahwa kita telah menorehkan karya besar terhadap kemajuan bangsa dan negara yang kita cintai ini (Indonesia Raya).         



Ditulis di Rembang – Jawa Tengah
17 Mei 2006



Daeng Gajang