Kamis, 01 Desember 2011

Appare – pare, sumber pangan yang hilang di rumah sendiri


Suku Makassar yang mendiami jazirah selatan Sulawesi memiliki budaya yang adi luhung yang telah diwariskan secara turun temurun. Dari spirit budayanya inilah yang membuat orang – orang Makassar mempunyai jiwa dan semangat serta karakter yang tidak mengenal lelah untuk terus berjuang pada semua bidang kehidupan yang mengiringi nafas kehidupan sehari –hari dari zaman dahulu kala sampai saat ini. Keteguhan hati yang pantang menyerah itu masih dapat ditemukan jejaknya kini sebagaimana yang mereka torehkan pada masa - masa penjajahan dan masa kemerdekaan serta masa – masa mengisi  kemerdekaan ini dengan berbagai ragam karya pembangunan. Ibarat kata, Orang Makassar akan terus berjuang tanpa koma.

Saat ini mereka sedang berjuang melawan keterbelakangan hidup dalam segala bidang diantaranya ilmu pengetahuan, social, budaya, politk, ekonomi dan lain – lain. Walaupun suku bangsa ini (Makassar) pernah menjadi symbol kejayaan dan kemajuan bangsa – bangsa di wilayah timur Nusantara (Indonesia) pada beberapa abad lalu, terutama pada zaman Kerajaan Gowa berada pada masa keemasannya,  namun tidak berarti bahwa saat ini kehidupan social ekonomi, budaya dan politik masyarakat Makassar dengan sendirinya tetap stabil dan meningkat. Akan tetapi disadari atau tidak disadari oleh orang Makassar sendiri bahwa sesungguhnya mereka sedang menghadapi sebuah kenyataan yang semakin hari semakin jauh dari nilai – nilai budaya Makassar yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.

Ada banyak contoh – contoh nyata yang perlu direnungkan bersama diantaranya penegakan spirit siri na pacce yang semakin luntur dan bahkan cenderung terjadi pergeseran dan penyempitan makna. Padahal nilai – nilai siri na pace sesungguhnya adalah pengejawantahan dari system kehidupan social, budaya dan ekonomi sebagai acuan dalam membangun system kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Bahkan nilai – nilai siri’ na pace ini juga sangat relevan dengan system dan nilai – nilai yang diajarkan oleh agama Islam sebagai agama utama yang dianut oleh Orang Makassar.

Amat jarang lagi ditemukan praktek saling asuh, saling asih dan saling asah sebagai system sosial kemasyarakatan yang menjadi spirit utama dalam kehidupan sehari – hari sebagaimana ungkapan…. punna parallu ku koccikangki karro’- karrokku punna iapa la a’jari pa’balle ri katte (walaupun ini sudah tidak ada duanya, saya akan berikan kepada anda, jika hal ini bisa membantu)… spirit seperti ini nampaknya sudah terkubur dengan tenang dari landasan nilai dan sikap kita dalam bertindak. Justeru kecenderungan yang marak terjadi saat ini adalah siapa yang kuat (kuasa) dan siapa yang punya modal kuat (harta), maka dialah yang akan mendapatkan kekuasaan, bahkan kekuasaan itu nyaris tanpa batas. Dan celakanya kekuasaan tersebut cenderung pula disalahgunakan untuk semakin menancapkan kekuasaan yang telah direngkuhnya. Tidak mempunyai korelasi yang kuat antara kekuasaan yang dipegangnya dengan upaya mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Begitulah fenomena kehidupan social budaya Suku Makassar kini.

Adalah Appare – pare yang merupakan sebuah praktek budaya adi luhung dari suku Makassar yang telah punah ditelan zaman. Padahal tujuan dari appare – pare ini begitu mulia dan agung yaitu memberikan perlindungan terhadap orang miskin dari kelaparan. Appare – pare adalah sebuah mekanisme yang disepakati dan telah dipraktekkan sejak zaman nenek moyang kita dahulu, dimana masyarakat yang berpunya memberikan akses bagi keluarga miskin terhadap sumber – sumber pangan utama yang dimiliki antara lain padi, jagung, kacang – kacangan dan bahkan hasil – hasil tanaman perkebunan seperti kelapa, mangga dan lain – lain. Appare – pare ini dilakukan oleh para keluarga miskin di kampong – kampong sesaat setelah panen raya /besar (akkatto lompo) dilakukan oleh para pemilik sawah. Para pemilik sawah tidak keberatan, jika pada saat panen raya /besar (akkatto lompo), masih terdapat bulir – bulir padi yang tersisa karena secara sadar bahwa nanti akan ada orang lain (miskin) yang akan melakukan appare – pare atau sering disebut dengan akkatto ca’di.

Generasi yang lahir di atas tahun 1980an pasti akan bertanya : apakah itu appare – pare? Maka dengan bijak, kita para pendahulu mereka, mesti dengan sabar menjelaskan bahwa appare – pare adalah sebuah aktifitas panen padi, jagung dan sumber-sumber pangan lainnya yang dilakukan oleh keluarga – keluarga yang tidak punya lahan sawah setelah panen besar (akkatto lompo) telah dilakukan oleh para pemilik sawah/lahan. Praktek seperti ini tidak akan dapat ditemukan lagi dalam kekinian.

Namun akibat dari gerakan lappo ase yang digiatkan oleh pemerintah pada awal 1980an, maka pada saat itu pula praktek appare – pare ini mulai hilang dan akhirnya tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang. Padahal, mekanisme ini telah menjadi kearifan local bagi masyarakat Makassar dalam mempertahankan hidup dari kekurangan pangan khusunya bagi keluarga yang tidak berpunya. Atau dapat dikatakan bahwa appare – pare ini adalah sebuah copying strategi untuk tetap dapat survive. Sebuah strategi mempertahankan hidup yang disiapkan oleh budaya.

Lalu timbul lagi pertanyaan di benak para generasi muda, lalu mengapa musnah? Karena setelah gerakan lappo ase digalakkan, maka alat-alat produksi terutama alat yang digunakan pada saat panen padi juga berangsur – angusr diganti karena cara yang digunakan pada saat panenpun juga turut terganti dengan cara-cara baru yang diperkenalkan oleh lappo’ ase ini, yairu dari system petik bulir menjadi system potong batang. Tujuannya agar panen bisa lebih efisien dari segi waktu dan hasil panen bisa lebih optimal. Hal ini pula mengakibatkan terjadinya pergantian alat panen dari ani-ani (pakkatto) menjadi sabit dan clurit.

Tentu ada keuntungan – keuntungan yang didapat oleh para petani terutama para pemilik sawah/lahan dimana hasil panennya meningkat berlipat – lipat dan sangat mudah untuk diolah selanjutnya karena sudah dalam bentuk gabah dan pengangkutannyapun dari sawah ke rumah akan sangat mudah karena gabah-gabah tersebut sudah diisi dalam karung.

Namun tanpa disadari, ada pengorbanan (social cost) yang tidak kalah pentingnya yaitu memutus akses para keluarga miskin di kampung-kampung  terhadap sumber-sumber pangan yang justeru ini adalah merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu setiap masa panen tiba. Dan pula secara budaya, mereka juga telah dilindungi dari kelaparan dan diberikan haknya atas pangan. Situasi ini sudah barang tentu telah membawa akibat turunan, namun mungkin belum sepenuhnya disadari oleh kita semua misalnya semakin tipisnya ikatan emosional dan hubungan social antar warga masyarakat, pola relasi antar masyarakat mengalami perubahan drastis dari relasi yang mengedepankan nilai – nilai social menjadi pola relasi antara buruh dan majikan. Dan mungkin juga mengakibatkan melunturnya solidaritas social masyarakat pada banyak arena-arena social karena pola relasi yang terbangun selama ini telah tergantikan menjadi relasi yang bersandarkan pada sesuatu yang bersifat transaksional (ekonomi capital).

Segalanya dikonversi dan diejawantahkan dalam bentuk nilai ekonomis (business oriented).  Ada uang ada barang yang menjelma menjadi ada upah jika ada kerja. Pada beberapa tipe masyarakat yang akar budayanya tidak seperti Bangsa Makassar dan bangsa-bangsa lainnya di Indonesia seperti Bangsa Eropa dan Amerika, mungkin pola seperti ini sangat cocok diterapkan, karena nilai-nilai seperti ini memang berasal dari akar budaya mereka.

Namun bagi bangsa-bangsa yang budayanya dibangun atas nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan, akan mengalami banyak kesulitan dalam menerapkan pola transaksional seperti yang dijelaskan di atas. Belajar dari kasus appare-pare ini, akhirnya timbul berbagai macam pertanyaan dalam benak, yang boleh jadi akan menghantui sepanjang hidup. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain : Apakah ini yang disebut dengan soft power expansion? Apakah ini yang dimaksud dengan power of noe liberalism? Apakah ini yang disebut pembunuhan karakter? Kearifan-kearifan local apa lagi yang akan hilang? Dan Apakah ini yang dimaksud dengan matinya perdaban? Saya pribadi sama sekali tidak paham akan hal ini……wallahu alam bissawab……   



Ditulis di Kupang, 17 Oktober 2009


Daeng Gajang