Jumat, 20 April 2012

MENEGUHKAN KEMBALI SPIRIT KARTINI DI ZAMAN EDAN

Lebih dari satu abad yang lalu Ibu Kartini telah memperjuangkan hak – hak bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki – laki dalam menuntut ilmu, mengeluarkan pendapat dan hak – hak lainnya. Perjuangan itu sungguh sangat mempengaruhi perjalanan bangsa ini selanjutnya dan bahkan Ibu Kartini diberikan penghargaan oleh Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional. Betapa mulia perjuangan Ibu Kartini tersebut yang sudah barang tentu juga sangat  berpengaruh terhadap perjuangan dari putera – puteri bangsa ini yang ditandai dengan  diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno – Hatta pada 17 Agsutus 1945. Spirit yang telah diperjuangkan oleh beliau, kini mendapat tekanan – tekanan dari sebuah arus besar yang bernama globalisasi khususnya dalam hal nilai – nilai budaya Indonesia. Sehingga pertanyaan yang paling mendasar kepada generasi muda bangsa ini adalah “Apakah spirit dari perjuangan Kartini masih mendapatkan tempat di dalam sanubari generasi muda  khususnya kaum perempuan?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sungguh – sungguh gampang – gampang sulit untuk dijawab. Karena pada konteks kekinian, tantangan yang dihadapi jelas sangat berbeda baik pada karakteristiknya maupun dari kompleksitasnya. Dewasa ini tantangan yang dihadapi bukan lagi penindasan oleh bangsa asing akan tetapi mungkin penindasan itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bentuknyapun berlainan. Misalnya penindasan itu terjadi dalam bentuk keterbatasan akses dan kesempatan untuk berperan dalam masyarakat.  Baik secara social maupun secara ekonomi dan politik.  Ataukah mungkin malah terjadi dalam ligkungan keluarga kecil dimana kaum perempuan menjadi sub – ordinat dalam rumah tangga.

Faktanya dapat dilihat pada segala aspek kehidupan sebagai contoh secara kuantitatip, berapa banyak kaum perempuan yang menjadi pemimpin bangsa semisal menteri, gubernur, bupati, anggota legislative dan lain – lain dibandingkan kaum laki – laki, padahal jumlah penduduk di Indonesia menurut data statistik ternyata 51% adalah perempuan. Selanjutnya berapa banyak anak perempuan di rumah tangga yang akhirnya menjadi korban dengan tidak mendapatkan prioritas untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keluarga untuk menyekolahkan anak. Dan masih banyak lagi fakta – fakta yang bisa dilihat dalam keseharian kita masing – masing.  Sehingga jangan heran kalau akhirnya kemudian pada saat yang bersamaan kita juga banyak menemukan ‘perempuan – perempuan’ yang akhirnya menjadi ‘residu’ dari sebuah proses kehidupan dengan terjerumus ke hal – hal yang jauh dari norma – norma dan harapan – harapan yang diimpikan oleh Kartini misalnya dengan menjadi wanita – wanita penghibur dan penjaja seks di kota – kota besar yang diakibatkan oleh karena tidak adanya option lain yang bisa dipertimbangkan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bekal ilmu dan keterampilan untuk menghadapi kerasnya gelombang kehidupan. Namun dibalik dari itu semua, bukan berarti bahwa kita akan terus menerus menyalahkan situasi yang telah terjadi dewasa ini. Malahan ini semua akan menjadi cambuk dan motivasi bagi kalangan generasi muda khususnya kaum perempuan untuk membuktikan kepada sejarah bahwa spirit Kartini belum padam walaupun mungkin oleh segelintir masyarakat dalam memaknai spirit Kartini itu begitu dangkal yakni dengan hanya menonjolkan hal – hal dari aspek fisik seperti kebaya, ukiran dan lain – lain. Padahal, ada banyak hal yang perlu dimaknai lebih dalam lagi ketika kita membincangkan Kartini antara lain bagaimana beliau sebenarnya adalah korban dari tidak terperhatikannya masalah – masalah kesehatan ibu dan anak terutama kesehatan ibu hamil, bagaimana beliau telah berjuang tentang hak asasi manusia jauh sebelum PBB mendeklarasikan Konvensi HAM, bagaimana beliau telah berbicara tentang hak – hak anak khususnya hak pendidikan bagi anak perempuan jauh sebelum PBB mendeklarasikan Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, atau bagaimana beliau telah melakukan komunikasi dengan dunia luar dalam rangka mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia global walaupun hanya dengan surat menyurat. Oleh karena itu, apa yang telah diwariskan beliau, tidak akan lapuk dimakan oleh zaman bahkan akan terus menerus diapresiasi dan diteguhkan kembali oleh setiap generasi bangsa ini dari masa ke masa.. Bahkan itu semua akan menjadi tantangan dan musuh bersama bagi semua kalangan yang peduli terhadap anak – anak dan generasi bangsa untuk meneguhkan kembali spirit Kartini di zaman yang serba edan ini seperti yang beliau tulis dalam suratnya ke Stella pada 3 Agustus 1900 berbunyi “………Marilah ibu – ibu dan gadis – gadis, bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerja sama untuk merobah keadaan yang sudah tak tertahankan lagi…………”. Disini Kartini secara tegas melakukan pemberontakan dengan caranya sendiri terhadap zaman yang telah membelenggu kaumnya. Akhirnya, saya mengajak kepada seluruh pihak yang membaca buku ini untuk mulai menanamkan suatu tekad dalam diri kita masing – masing bahwa Kartini saja seorang diri telah mampu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perjalanan bangsa di kemudian hari. Apalagi kita generasi sekarang, semuanya sudah tersedia, tinggal melakukan saja aksi – aksi konkrit untuk meneguhkan kembali spirit itu. Tidak perlu merintis lagi, tinggal menjalankannya saja. Apakah dengan kondisi yang seperti inipun kita tidak mampu berbuat yang terbaik untuk bangsa kita? Jawabnya ada di benak kita masing – masing.





Rembang, 21 April 2005
Salam hormat



Daeng Gajang