Rabu, 07 Maret 2012

Meletakkan rakyat sebagai ‘subyek’ pembebasan diri dari belenggu kemiskinan


Pendahuluan
Diskursus tentang kemiskinan di Indonesia sepertinya tidak akan pernah habis mengiringi perjalanan bangsa ini dari masa ke masa. Betapa tidak yang namanya pengentasan kemiskinan, telah dilakukan sejak pertama kali bangsa ini memulai pembangunan kira – kira 40 tahun lalu. Bahkan andaikata dana – dana yang digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan itu langsung dibagikan kepada seluruh rakyat miskin yang jumlahnya berkisar 30 sampai 40 juta, mungkin cerita tentang kemiskinan di negeri ini telah selesai. Bayangkan berapa besar dana yang dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan setiap tahunnya baik yang berasal dari APBN, APBD I maupun APBD II? Namun seberapa jauh pendanaan itu mempengaruhi penurunan angka kemiskinan?

Kondisi tersebut di atas akan selalu berulang setiap tahun jika kita tidak segera menemukan sebuah strategi yang tepat dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang telah lama membelenggu bangsa ini. Penyebab kemsikinan itu terus menerus membelenggu kehidupan bangsa ini salah satunya adalah karena rakyat selalu diposisikan sebagai obyek dan telah dikonotasikan sebagai pihak yang tidak berdaya dan tidak mempunyai kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan itu.

Selama ini para penentu kebijakan (negara) tidak percaya bahwa rakyat sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya  termasuk masalah kemiskinan dengan mengoptimalkan kearifan – kearifan yang mereka miliki. Namun sangat disayangkan, kearifan – kearifan yang dimiliki oleh rakyat di penjuru tanah air ini, kebanyakan telah terkubur setelah mengalami proses pengkerdilan nilai selama 30 tahun terakhir.

Bagaimana si miskin di daerah Takalar dan sekitarnya tidak dapat lagi menikmati panen dengan mekanisme “a’pare – pare” karena digilas oleh pertanian modern. Di Selayar, karena semangat otonomi yang begitu tinggi, desa – desa menciptakan peraturan desa yang tidak membenarkan lagi si miskin dapat memungut buah kelapa yang jatuh dimana sebelumnya adalah merupakan mekanisme yang tidak tertulis (turun temurun) yang telah dimaklumi /disepakati sejak dahulu kala yang memungkinkan si msikin juga dapat akses terhadap sumber daya (kususnya kelapa). Dan masih banyak lagi hal yang sama terjadi di daerah – daerah lain di pelosok negeri ini.

Sejarah telah membuktikan betapa bangsa ini mampu mensejajarkan dirinya dengan bangsa -  bangsa lain yang telah maju di dunia pada sekitar 300 atau bahkan 500 tahun lalu seperti masa – masa kejayaan kerajaan nusantara antara lain Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Malaka dan lain - lain. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mengelola kehidupannya atas kearifan yang mereka miliki dalam artian bahwa merekalah yang menjadi penentu hitam putihnya kehidupan mereka atau merekalah yang menjadi subyek bagi kehidupannya. Tidak diaturkan dan ditunjukkan - tunjukkan atau bahkan diperintah - perintah oleh pihak lain yang bernama pemerintah (aparat negara?). Tapi toh rakyat bisa sejahtera dan berdaulat penuh atas sumber – sumber penghidupannya. Bahkan mampu mewariskan kesejahteraan itu kepada generasi selanjutnya.

Salah satu praktek yang dilakukan oleh para raja (Negara) pada saat itu adalah bersama dengan rakyatnya duduk bersama memikirkan (musyawarah) apa yang terbaik buat keduanya melalui sebuah mekanisme yang telah disepakati yang bertujuan untuk kesejahetraan bersama. Penciptaan mekanisme itu sudah barang tentu mengakomodasikan kepentingan semua pihak (negara dan rakyat). Mekanisme – mekanisme itu kemudian dapat ditelusuri dalam tatanan kehidupan masyarakat yang antara lain di Sulawesi Selatan dikenal Tudang Sipulung (Bugis), Sipitangarri (Makassar), di Nusa Tenggara Barat  dikenal Mbolo Weki (Mbojo), di Jawa dikenal Selapanan, Rembuq Deso, dan lain – lain.

Namun demikian, disadari pula bahwa praktek – praktek yang diberlakukan pada masa itu, juga tidaklah sempurna. Tentunya tidak terlepas pula dari kekurangan – kekurangan namun paling tidak negara dan perilaku aparat negara telah memberikan ruang yang cukup bagi rakyatnya untuk berperan serta secara optimal dalam mengakses sumber – sumber penghidupan secara bijak dan proporsional.    


Kemiskinan dan karakteristiknya
Dalam beberapa refensi ditemukan sebuah definisi tentang kemiskinan yaitu terjadinya ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Karakteristik kemiskinan yang terjadi di setiap daerah sangat berpariasi karena penyebabnya juga sangat beragam. Dr. Sanyoto Usman dalam bukunya Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat pada halaman 127 – 128 menuliskan bahwa  ‘Untuk mengidentifikasi karakteristik kemiskinan itu terdapat dua macam perspektif yang umum digunakan yaitu perspektif cultural (cultural perspective) dan perspektif structural atau situasional (situational perspective).

Perspective cultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga dan masyarakat. Kemiskinan pada tingkat individual ditandai dengan sifat yang lazim seperti sikap parochial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi – institusi masyarakat secara efektip. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang untuk berkembang’.

Dari perspektif yang dijelaskan di atas itulah, kita mencoba membedah lebih jauh kira – kira mana yang paling dominan berperan dalam kebanyakan rakyat miskin di Indonesia. Belajar dari pengalaman panjang penguasa bangsa ini melakukan upaya – upaya pengentasan kemiskinan, sangatlah beralasan apabila disimpulkan bahwa tidak adanya integrasi kaum miskin dengan institusi – institusi yang ada di masyarakatlah yang menjadi penyumbang paling besar terhadap kegagalan bangsa ini dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Penyebab dari situasi yang seperti ini telah banyak dikupas sebelumnya. Oleh karena itu, ada baiknya dicoba suatu program pengentasan kemiskinan yang menempatkan rakyat sebagai subyek atau pelaku utama.

Prasyarat menempatkan rakyat sebagai subyek
Jika hipotesa di atas akan dicoba diluncurkan, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi antara lain : prinsip dari, oleh, untuk harus dikedepankan secara sungguh – sungguh oleh para pihak yang terlibat dalam program pengentasan kemiskinan tersebut, pendamping harus melakukan proses immerse untuk mengetahui secara pasti irama dan gaya hidup dari komunitas yang akan difasilitasi oleh program, pendekatan yang digunakn adalah pendekatan program development bukan project orientation. Untuk mendukung upaya – upaya tersebut di atas, maka prinsip yang seyogyanya yang dijadikan sebagai pakem dalam program pengentasan kemiskinan adalah sebagai berikut :  

a.    Sejak awal terlibat dalam program
b.    Tujuan merekalah yang akan dicapai bukan tujuan proyek
c.    Menggali kearifan – kearifan local yang dimiliki oleh masyarakat setempat dan menempatkan kearifan local tersebut sebagai entry point.
d.    Mencapai kehidupan yang layak adalah hak bagi seluruh rakyat.
e.    Model – model pemberdayaan masyarakat yang akan dilakukan, mempertimbangkan suara dari masyarakat setempat.

Masyarakatlah yang paling tahu akan situasinya
Saya sangat yakin dengan sebuah ayat dalam Alqur’an yang artinya Tidak berobah nasib suatu kaum kalau bukan kaum itu sendiri yang merobahnya. Maknanya bahwa selama rakyat miskin tersebut tidak menjadi aktor utama atau subyek dalam proses pengentasan kemiskinannya, maka sampai kapanpun tidak akan membawa hasil yang optimal terhadap upaya – upaya pengentasan kemiskinan. Jadi yang diperlukan sekarang adalah bagaimana menemukan cara – cara yang praktis dan mudah dilakukan oleh rakyat miskin tersebut yang nota bene disamping miskin secara ekonomi umumnya mereka juga rendah pendidikan dan pengetahuan dan bahkan social budaya sehingga mereka dapat berperan aktip di dalam program – program yang akan membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan.

 Adalah Revrisond Bawasier dalam bukunya Pembangunan Tanpa Perasaan yang telah mengelompokkan kemiskinan itu ke dalam tiga kategori antara lain (a). kemiskinan natural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh tidak adanya sumber daya alam yang dapat diakses oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kalupun ada sumber daya alam yang bias diakses, yang tidak tersedia adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam untuk menjadi sumber kesejahteraannya. (b). kemiskinan cultural yaitu kemiskinan yang disebabkan adanya praktek – praktek budaya atau kebiasaan – kebiasaan masyarakat setempat yang sebenarnya malah mengakibatkan mereka malah menjadi miskin misalnya pesta – pesta yang hanya memboroskan sumber daya, hajatan atas dalih demi mengakkan adat istiadat yang kalau perlu mereka menjual barang – barang berharga yang dimiliki demi membiayai hajatan tersebut yang ujung – ujungnya malah membuat mereka jadi bangkrut. Dan (c). kemiskinan structural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya praktek – praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dalam menjalankan program – program pemerintah yang bertujuan untuk pengentasan kemiskinan. Banyak sekali proyek – proyek yang salah sasaran yang justru jatuh kepada yang tidak berhak sama sekali. Dari pemaparan tersebut di atas, dapatlah ditarik benang merah bahwa ketika program – program yang bertujuan mengentaskan kemiskinan itu akan diimplementasikan dalam suatu masyarakat/komunitas, maka mereka seharusnya terlibat sejak awal ketika program – program  tersebut masih dalam tahapan perencanaan. Karena merekalah yang paling tahu sesungguhnya apa yang terjadi di masyarakatnya. Kemiskinan kategori apa yang membelenggu mereka dan bagaimana cara keluar dari belenggu tersebut..

Semua pihak yang berasal dari luar komunitas adalah bersifat stimulan, apakah berperan sebagai konsultan, fasilitator, sparing partner untuk berdiskusi atau mitra dari mereka. Sedangkan yang berperan sebagai decision maker adalah anggota dari komunitas itu sendiri melalui mekanisme yang disepakati misalnya melalui kelompok – kelompok atau melalui system perwakilan. Dengan demikian focus kita bukan hanya bagaimana meningkatkan income dari sekian rupiah menjadi sekian rupiah, akan tetapi juga bagaimana mengembangkan sumber daya manusia di tingkat komunitas yang akan menjadi pemimpin – pemimpin solider diantara mereka. Sehingga yang terjadi kemudian adalah sebuah gerakan simultan atau kalau boleh disebut sebagai sebuah revolusi yang dilakukan sendiri oleh komunitas tersebut.  Ini penting untuk menciptakan sumber daya manusia yang radikal dalam hal gerakan pembebasan komunitas dari belenggu kemiskinan. Kalau ini dilakukan secara terencana dan terarah, maka dapat dipastikan bahwa komunitas tersebut akan menjelma menjadi sebuah masyarakat yang mempunyai pondasi yang kuat untuk mempertahankan kesejahteraan yang telah dicapainya dalam artian telah terjadi gerakan berkesinambungan bahkan antar generasi.

Memulai dari kearifannya sendiri
Sebagaimana yang telah dilansir sebelumnya bahwa yang paling tahu situasi dan masalah yang membelenggu suatu masyarakat tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu jika memang kita mempunyai kesungguhan untuk mengentaskan kemiskinan dari bumi Indonesia yang kita cintai ini adalah dengan memahami lebih dalam akan situasi social budaya dan kearifan – kearifan yang dianut oleh masyarakat tersebut.. Namun demikian timbul pertanyaan – pertanyaan yang sekaligus menjadi prasyarat utama jika ingin meletakkan masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama dalam proses pengentasan kemiskinannya yaitu antara lain apakah pihak pemerintah (negara) mau secara ikhlas melepaskan status ‘kepenguasaanya’ terhadap rakyat? Apakah para penentu kebijakan baik di pusat maupun di daerah bersedia menjauhkan program pengentasan kemiskinan dari aroma politis? Apakah pelaksana program mempunyai sumber daya manusia yang cukup handal dalam memfasilitasi proses – proses yang menjadikan masyarakat menjadi subyek? Pertnyaan – pertanyaan tersebut akan terjawab dalam skema program pengentasan kemiskinan yang diluncurkan oleh pemrintah.

Tahapan – tahapan program
Untuk melakukan upaya – upaya pengentasan kemiskinan dengan menempatkan rakyat sebagai subyek, terdapat beberapa tahapan proses yang perlu diketahui  oleh seluruh pihak yang akan terlibat dalam program antara lain :

a.    Persiapan
Proses ini adalah proses awal dimulainya program dimana fasilitator melakukan penjajakan awal dengan melakukan transeck serta assessment untuk mengetahui data awal situasi kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah. Setelah data – data yang dibutuhkan telah didapatkan, fasilitator akan melakukan in-dept studi untuk mengetahui layak tidaknya suatu wilayah dijadikan sebagai lokasi program. Data – data yang dibutuhkan pada tahapan ini diantaranya  jumlah penduduk yang termasuk kategori mampu, sedang dan miskin, siapa – siapa tokoh masyarakat yang selama ini secara ikhlas membantu masyarakat dalam kesulitan – kesulitannya,  potensi sumber daya yang terdapat di masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya sosial, sumber daya finansial, sumber daya ekonomi, sumber daya buatan dan lain – lain.

Ada beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu wilayah termasuk kategori miskin atau tidak, diantaranya dari Bappenas, BKKBN dan lain – lain. Hasil – hasil studi awal yang dilakukan akan lebih baik jika dilakukan validasi ke masyarakat melalui proses – proses partisipatif seperti focus group discussion atau bahkan dengan lokakarya dengan masyarakat yang tujuannya adalah untuk mendapatkan masukan dari pihak mereka, sekaligus melakukan validasi terhadap hasil yang ditemukan oleh tim fasilitator. Masukan – masukan yang didapatkan dalam lokakarya tersebut akan melengkapi data – data awal yang dimiliki oleh fasilitator.

b.    Penjajakan kebutuhan dan perencanaan
Penjajakan kebutuhan dilakukan untuk mengetahui dengan tepat kebutuhan – kebutuhan pengembangan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang sudah barang tentu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Apalagi kalau karaktersitik masyarakatnya sangat plural, dimana terdiri dari beragam latar belakang misalnya petani, buruh, pekerja disektor informal, nelayan dan lain – lain.

Proses penjajakan kebutuhan dan perencanaan ini dilakukan secara partisipatif dimana setiap keluarga diharapkan aktip merencanakan sendiri langkah – langkah yang akan mereka lakukan jika ingin terbebas dari belenggu kemiskinan. Dengan demikian terdapat banyak pariasi dari perencanaan yang dihasilkan karena basisnya adalah perencanaan keluarga (family planning). Hasil – hasil dari perencanaan inilah yang akan dinegosiasikan dengan pihak lain misalnya pemerintah, lembaga keuangan, lembaga pelatihan dan seterusnya yang tentunya mereka juga akan memutuskan bentuk konstribusi yang akan diberikan dalam program.

Namun dalam menentukan jenis kontribusi dari mereka, fasilitator melakukannya dengan negosiasi dengan mereka sehingga terbangun proses pencerahan bahwa yang menentukan sukses tidaknya dia dalam melawan kemiskinan, adalah ditentukan oleh kemampuan dia sendiri, pihak lain hanyalah sebagai stimulan. Ini penting untuk meyakinkan mereka bahwa sesungguhnya mereka punya potensi yang sangat besar untuk maju namun hanya karena belum mendapatkan kesempatan. Salah satu bukti bahwa mereka mempunyai potensi besar adalah bahwa kereka tetap survive sampai dengan hari ini walaupun mungkin telah bertahun – tahun bahkan telah berpuluh – puluh tahun hidup dalam situasi miskin.

c.    Implementasi
Pada saat implementasi program, pembagian peran harus disepakati sebelumnya agar tidak terjadi tumpang tindih antara fasilitator dengan pelaku utama program. Masing – masing pihak harus jelas perannya di awal dan secara konsisten akan melakukan apa yag telah menjadi tanggungjawabnya. Pada tahapan implementasi tersebut, juga dilakukan monitoring, untuk mengetahu sejauh mana kemajuan yang telah dicapai pada setiap tahapan proses yang telah dilalui. Dan juga sekaligus memberikan rekomendasi yang sekiranya dapat dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas dari tahapan – tahapan proses sebelumnya.    

d.    Evaluasi
Jika ingin mendapatkan data dan informasi yang valid di dalam mengevaluasi sebuah program pengentasan kemiskinan, maka berilah kesempatan kepada para stakeholders, termasuk masyarakat sebagai subyek, terlibat penuh di dalam prose evaluasi. Merekalah yang akan menjelaskan dengan fakta yang terjadi di masyarakat terhadap apa yang mereka rasakan, apakah ada perobahan yang signifikan tentang kesejahteraannya baik sebelumdan sesudah program pengentasan kemiskinan dilakukan di wilayahnya masing – masing. Biarkanlah mereka bertestimoni dan menjelaskan apa adanya dan secara obyektip. Para fasilitator dan kalangan tinggal membandingkannya secara ilmiah dan tanpa mengabaikan kaidah – kaidah keilmuan dalam menuliskan sebuah laporan evaluasi. 

Menentukan indicator
Menentukan indicator bersama dengan mereka dilakukan agar mereka sejak awal memahami kondisi awal serta kondisi yang akan diusahakan tercapai. Penentuan indicator ini terbagi atas dua kelompok yaitu indicator kemisikinan menurut masyarakat setempat dan indicator keberhasilan program yang juga diformulasikan dengan cara pandang mereka tentang keberhasilan itu sendiri.

Pengalaman yang terjadi selama ini, indikator – indikator yang digunakan adalah indikator yang bersifat makro sehingga mereka tidak merasa menjadi bagian yang dimaksudkan oleh indikator tersebut. Pekerjaan ini memang menjadi sesuatu yang sangat berat karena akan muncul indikator – indikator yang sangat beragam dari masyarakat sebab setiap masyarakat tentu akan mempunyai cara pandang yang berbeda tentang indikator kemisikinan itu. Akan tetapi hal ini harus dilakukan untuk mengetahui lebih tepat kemana sebenarnya masyarakat ini akan mengembangkan dirinya di masa depan.

Indikator di Jawa tidak mungkin bisa digunakan di tempat lain misalny di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan lain – lain. Salah satu contohnya mungkin di pedesaan Jawa, rumah dengan lantai tanah boleh jadi tidak akan dipersoalkan sebagai salah satu criteria keluarga miskin, karena memang mayoritas masyarakat menggunakan tanah sebagai lantai rumahnya. Akan tetapi jika itu di Sulawesi Selatan misalnya, ini akan menjadi masalah karena di Sulawesi Selatan, umumnya masyarakat di pedesaan menggunakan rumah panggung yang mana lantainya terbuat dari papan atau bamboo. Begitu juga untuk daerah lainnya di Indonesia.

Penyebab dari kemisikinan itu sangat berpariasi, ada yang disebabkan oleh karena kondisi sumber daya alam yang sangat terbatas seperti yang terjadi di sebagian daerah di Propinsi NTT dan daerah lain di Indonesia. Ada yang disebabkan oleh budaya masyarakat setempat yang selalu hidup berpoya – poya, boros, etos kerja yang rendah, apatis terhadap situasi yang terjadi. Karena kemsikinan yang terjadi begitu rupa, maka penanganannyapun harus disesuaikan dengan karakter kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah. Ibaratnya kita harus secara tepat mendiagnosa penyakit yang diderita oleh sipasien, jangan sampai pasiennya menderita sakit kepala atau sakit jantung akan tetapi kita memberinya obat yang tidak cocok dengan jenis penyakit yang dideritanya. Begitulah pentingnya mengakomodasi situasi dan kondisi yang terjadi di setiap lokasi dalam sebuah program pengentasan kemiskinan.  

Penutup
Semoga saja para pembaca yang budiman, dapat terinspirasi dari ide yang sangat sederhana ini. Dan silahkan disempurnakan sehingga ide sederhana ini dapat juga berkontribusi terhadap upaya – upaya pengentasan kemiskinan di negeri tercinta ini, Indonesia.





Rembang, Juli 2006



Syamsu Salewangang Daeng Gajang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar